Rasa dalam Angkara

Dasa menggigil dalam dingin. Berkali-kali dia berusaha untuk mendapatkan sedikit saja perhatian Chyntia, tak pernah terlaksana. Segala macam cara, pengorbanan, dan perlakuan bahkan jika pantas disebut muslihat sudah sangat licik pernah dilaksanakan. Namun tak goyah hati Chyntia mengharap Romi datang ke kota ini dan segera membawanya pergi.

“Yang aku punya bukan nafsu, wahai bidadari. Aku ingin damai di sisimu.” Celoteh Dasa. Chyntia hanya diam, berpaling muka. Membiarkan Dasa tenggelam dalam pesona rambutnya yang tergerai. “katakan sesuatu wahai pujaan hati. Tak kah engkau mau sedikit memberikan kebahagian kepada pengemis ini. Sedikit saja katamu sudah membuatku melambung.” Dasa memohon.

“Wahai Dasa, semakin aku kasihan terhadapmu. Sudah berulang kali aku utarakan kepadamu. Boleh kau dekat dengan aroma tubuhku sekarang ini. Tapi ketahuliah, hatiku sudah terbawa di seberang lautan. Jangan lagi kau hinakan dirimu memohon kepadaku.” Ucap Chyntia di iringi kepergiannya dari tempatnya duduk.

Dasa merasa harga dirinya terinjak-injak oleh perempuan. Ingin rasanya dia memeluk perempuan itu, melucuti seluruh pakaiannya kemudian bercumbu tanpa ada batas waktu. Namun, hal itu hanyalah angan saja. Berulang kali pikiran semacam itu bertengkar dengan perasaannya. Tak lebih berharga memiliki hati Chyntia daripada hanya menikmati tubuhnya saja.

Karna, sang adik yang setiap hari hanya bermalas-malasan, tak membiarkan Dasa semena-mena terhadap perempuan. Selalu mengintip ketika Dasa mendekati Chyntia. Menjaga perasaan seorang kakak tidak terbakar oleh nafsu.

“Wahai kakakku tersayang, bukan aku tak ingin engkau bahagia. Percayalah, tak ada yang lebih membahagiakan selain memiliki hati seorang perempuan daripada hanya menikmati kecantikannya saja.” Bijak Karna memberikan petuah kepada sang kakak.

“Apa pedulimu duhai Karna. Selama Chyntia tinggal di hotel ini, dia milikku. Apapun boleh aku lakukan terhadapnya.” Tandas Dasa.

“Jangan kau menghinakan martabatmu sebagai lelaki. Sudah kau rampas rumahnya, kau pisahkan dia dari orang tuanya. Apakah sekarang akan kau paksa juga hatinya menjauh dari Romi?” Karna meningatkan Dasa. “Dalih memperbolehkan dia tinggal disni hingga Romi menjemputnya. Tapi, setiap detik kau membahayakan kehormatannya sebagai milik Romi. Melarangnya menghubungi siapapun di luar sana. Kau menculiknya, merampas kebebasannya” Tambah Karna.

“Diam…! tak usah kau banyak bicara kepadaku. Aku lebih tahu itu.” Hardik Dasa. Karna diam. Dia tak ingin sang kakak terbakar murka.

Hotel yang begitu besar, tak ada celah untuk Chyntia pergi. Bahkan terasa seperti penjara baginya. Kamar, restoran dan kolam renang adalah sahabat barunya beberpa minggu ini. Hanya ada seorang pelayan kamar yang seringkali menjadi lawan bicara. Memberikan petuah kesabaran & kesetiaan.

Jauh di seberang lautan, Romi dan Laksa berusaha mencari jalan untuk membebaskan Chyntia dari cengkeraman Dasa. Di sebuah terminal, mereka bertemu dengan Norman. Copet terminal yang merasa tertindas oleh preman setempat. Si kembar yang selalu tak akur. Gali dan Giwa yang saling berebut kekuasaan. Gali lebih mementingkan perutnya saja. Sedang Giwa ingin seluruh penghuni terminal tunduk kepadanya.

“Mengapa kau ingin Giwa yang menjadi pemimpin kalian?” tanya Romi, ketika malam menjelang dan mereka menginap di tempat Norman.

“Giwa lebih memperhatikan kami. Melindungi kami dari para aparat yang terkadang mencari gara-gara. Giwa turun ke jalan bersama kami. Kami semua mendukungnya. Namun, Gali terlalu kuat. Tangannnya terlalu ringan untuk memukul atau menampar kami. Tak mungkin Giwa bisa mengalahkannya.” Tutur Norman.

“Sudahlah, abang tak usah ikut campur urusan mereka.” Laksa berbisik di kuping Romi. Dibalas senyuman oleh sang kakak. Dan tak disangka Romi akan berusaha membantu Giwa mendapatkan kekuasaan di terminal tersebut. Lkasa adalah seorang adik yang selalu mengikuti apa perintah sang kakak. Sembari membenahi posisi tidurnya, dia menatap langit-langit seraya berpikir strategi.

Pagi buta Romi. Laksa dan Norman bertemu dengan Giwa. Angkuhnya seorang preman mampu luluh oleh tutur kata seorang Romi. Disuruhnya Giwa pagi ini nanti membuat gara-gara di terminal sehingga Gali terusik dan turun ke jalan. Sebelumnya, Giwa harus berpakaian mirip dengan yang dipakai Gali.

Menjelang siang, seorang pemuda memakai kaos berlambang anarki ditangkap polisi dengan tuduhan berjualan narkoba. Romi tersenyum dari kejauahan. Giwa yang berada di seberang jalan beraut muka sedih bercampur kemenangan. Saudara kembarnya digiring aparat ke penjara untuk waktu yang tak terbatas.

Seluruh penghuni terminal terlihat girang. Apa yang mereka lakukan pagi itu membuahkan hasil. Sebelum Giwa berlari ke arah seberang jalan, seorang lelaki yang ternyata adalah seorang polisi, telah membeli narkoba dari dirinya. Romi yang melaporkan bahwa ada pengedar narkoba di terminal.

Gali mendapatkan laporan dari anak buahnya yang sebanrnya berkhianat, bahwa ada pengedar yang berani beroperasi di daerahnya. Tak ayal, Gali geram dan mencari orang tersebut. Belum sempat dia menemukan siapa pengedar itu, terlebih dahulu polisi menangkapnya. Semua yang hadir di tempat itu menuding kepada dirinya sebagai pengedar. Gali terdiam. Tak tahu apa yang terjadi.

Terlahir kembar menjadi petaka bagi Gali. Perbuatan Giwa menjadi celakanya. Taktik Romi kalau tak boleh disebut kelicikan, menggulingkannya dari kekuasaan. Kebencian seluruh warga terminal adalah sumbu peledak yang berhasil disulut oleh Romi. Oleh rencana sang adik, Laksa.

“Terima kasih dariku mewakili seluruh warga sini, Rom. Jika tak boleh aku sebut ini hutang, bolehlah aku membantumu dalam perjalananmu ini.” Kata Giwa.

“Aku tak ingin melibatkanmu. Ini adalah perjalanan seorang lelaki yang memperjuangkan kekasih hati. Mungkin tak ada dalam kamus hidupmu. Tapi, perempuan yang kucari ini, lebih membahagiakan daripada kebebasan yang engkau dan seluruh warga rsakan lepas dari cengkeraman Gali.” Romi menatap dalam ke mata Giwa.

“Aku yang akan menemanimu hingga kau dapat apa yang menjadi tujuanmu.” Norman tiba-tiba menyahut. Laksa, Romi, dan Giwa beralih menatap ke Norman. Pemuda berbadan kekar itu sanggup melayani Romi yang baru saja dia kenal kemarin.

“Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Jika kau membutuhkan bantuan, kami akan datang. Aku menunggu kabar darimu Norman.” Kata Giwa.

Malam ini, mereka tak lagi tidur di tempat Norman. Berganti di sebuah losmen kecil yang di kanan-kiri banyak perempuan penghibur. Darah Romi naik turun. Laksa memilih berdiam diri di sebuah cafe. Norman berpamitan kepada seluruh kawannya di lingkungan itu.

Perempuan dengan busana yang cukup ketat dan pendek serta rambut tergerai menghampiri Laksa. “Wahai lelaki tampan. Mengapa kau hanya berdiam. Tak bisakah kau menikmati malam?” tanya perempuan itu.

“Aku cukup menikmatinya. Hanya saja, pikiranku terbang ke seberang sana. Kepada kakak iparku yang mirip… engkau.” Tak sadar kata yang keluar dari mulut Laksa menyebutkan sang ipar.

“Hehm… pastinya engkau sangat mencintainya hingga dalam keremangan seperti ini kau masih memikirkannya. Ataukah ini rayuan dengan menyebutkannya mirip denganku?” perempuan itu nyerocos tak henti.

Tak sadar, beberapa teguk minuman telah membuatnya melayang. Semakin mirip perempuan itu dengan Chyntia. Tergoda atau memang itulah kata hati. Kecup demi kecup mendarat di bibirnya dari perempuan itu. “Maafkan aku, Bang. Aku juga sangat sayang kepada Chyntia.” Dalam hati Laksa berkata. Pelukannya semakin erat kepada perempuan malam itu.

Romi mendapatkan upeti atas keberhasilannya mengusir Gali dari wilayah itu. Di teras depan terlihat dia bercakap dengan perempuan yang tak kalah cantik dari seorang artis. Dingin malam membuat Romi seringkali bolak-balik ke kamar mandi di dalam kamar. Dia tak memperbolehkan perempuan itu sedikitpun menapakkan kaki ke dalam kamarnya.

“Aku haus, bolehkah aku mengambil minuman di dalam?” tanya si perempuan.

“Aku ambilkan saja. Kau ingin dingin atau hangat? Biasa atau bersoda?” tanya Romi. Dibalas senyuman dan bibir mungil itu berucap, “Jika ada, aku ingin yang berakohol. Malam ini kurasa sangat dingin.”

Romi keluar dengan membawa dua botol minuman soda dingin. Si perempuan terlihat sedikit kecewa. Namun, tetap saja dia tenggak minuman yang tak sesuai dengan keinginnannya itu. Minuman yang hanya bersoda itu adalah awal bencana bagi Romi. Ketika dia lengah, perempuan upeti memasukkan beberapa butir obat perangsang ke minuman Romi.

Menjelang dini hari, Romi diserang kantuk yang begitu hebat. Tak sadar, dia tertidur di teras depan. Perempuan itu membangunkannnya dan memapah ke dalam kamar. Melucuti pakaian yang menempel di tubuh Romi, kemudian juga menanggalkan pakaiannya satu persatu.

Pintu diketuk. Alangkah terkejut Romi mendapati dirinya tanpa busana dan terdengar gemericik air dari dalam kamar mandi. Laksa berdiri di depan pintu ketika dibuka. Romi gugup. Laksa masuk di ikuti Norman.

“Bang, pagi ini kita harus segera pergi. Kapal ke jawa akan berangkat siang ini.” Kata Laksa serius. Norman menuju ke tempat minuman. Belum sampai dia ke almari itu, dia menoleh ke kamar mandi. Perempuan upeti keluar dari kamar hanya mengenakan handuk membalut tubuhnya. Senyum terlempar. Norman membalasnya dengan kerlingan mata.

Laksa kaget, Norman semakin gugup. Tanpa berkata, perempuan tadi melepaskan handuknya tanpa malu kemudian mengenakan pakaiannya dan beranjak pergi dari kamar Romi. “Aku tak sadar apa yang terjadi tadi malam, Laks…” kata Romi.

“Abang cepatlah mandi. Kapal tak bisa menunggu.” Laksa menyuruh kakaknya.

Tak terbayang bagaimana nanti Chyntia jika mengetahui apa yang terjadi di kamar ini. Mata Laksa tajam menatap ke arah Norman seakan berisyarat, apa yang terjadi di kamar ini adalah rahasia kita bertiga. Tak seorangpun boleh tahu.

Kapal sudah meninggalkan pelabuhan. Romi tak berkata apapun semenjak dari hotel. Norman sibuk berjalan kesana kemari mencari awak kapal yang sebagian besar adalah rekan-rekannya. Laksa hanya memandangi lautan lepas.

Chyntia semakin merasa gerah dengan segala macam rayuan dan perlakuan Dasa. Semakin lama, semua hal tidak masuk di akal Chyntia. Ketika ingin makan, restoran selalu kosong. Ketika berenang, di kolam renang tak ada seorangpun disana. Dari kamera pengintai, Dasa selalu mengawasinya. Pernah suatu ketika Chyntia terpeleset dan hampir tenggelam di kolam renang. Bukan penjaga kolam yang datang, namun Dasa sendiri yang menceburkan diri dengan pakaian kantor lengkap menyelamatkan Chyntia.

Hasrat Dasa memuncak demi menyentuh kulit Chyntia yang benar-benar halus dan bersih. Hal itu pula yang pertama kali memacu keinginnan Dasa memiliki Chyntia. Sebenarnya akal-akalan Dasa saja hingga Chyntia terjebak harus tinggal di hotelnya.

Kala itu, Romi menjadi salah satu peserta lelang pembangunan saluran air di luar jawa. Membuat daerah tandus dan gersang yang sulit mendapatkan air, menjadi wilayah yang layak huni. Atas permintaan Chyntia pula, Romi mengambil proyek tersebut. Di tengah berjalannya proyek, dana habis. Satu-satunya kekayaan adalah rumah. Romi berpesan kepada Chyntia, apapun yang terjadi jangan pernah menggajukan rumah sebagai jaminan.

Namun, demi melihat keberhasilan sang suami Chyntia memberikan sertifikat rumah sebagai jaminan pinjaman di Bank. Romi dan Laksa tak berkutik. Mereka memang butuh suntikan dana. Sampai batas pengembalian, tak kunjung bisa membayar hutang-hutang tersebut, hingga akhirnya pihak bank menyitanya.

Muncul sosok Dasa sebagai penyelamat. Dia mendapat kabar dari Wibowo, seorang pegawai bank bahwa ada rumah mewah dalam penyitaan. Wibowo menawarkan Dasa untuk membelinya. Tak tertarik dengan bangunan, Dasa lebih terpikat kepada penghuninya.

Dalam masa penyitaan hingga lelang, Dasa menawarkan salah satu kamar di hotelnya sebagai tempat tinggal sementara. Wibowo juga mengusulkan agar Chyntia menerima tawaran tersebut. Chyntia mengiyakan, namun tak terkira apa yang sekarang dia rasakan.

“Chyntia, kau telah melanggar perintah suamimu. Kau buat suamimu sengsara di seberang sana. Engkau terlalu bernafsu mendapat kebahagiaan. Sekarang, kutawarkan kebahagiaan kepadamu, engkau selalu berpaling. Akulah kebahagiaan yag tepat berada di depan matamu.” Kata-kata Dasa membuat Chyntia tergores hatinya. Pedih, namun air mata dia tahan.

“Dasa, kau tak juga kunjung mengerti tentang kebahagiaan. Boleh kau mencintaiku. Namun, aku tak akan mencintaimu. Jika aku harus bersamamu, bukan aku yang merasa bahagia. Hanya engkau dan angkuh kemenanganmu dalam kebahagiaan.” Ucap Chyntia mencoba tegar.

“Tak kah kau paham Chyntia, nafsumu keinginanmu, mimpi-mimpimu membuat suamimu sekarang diterjang ombak tanpa kabar. Bahkan dimana kau sekarang, dia tak tahu. Akan kemana dia mencarimu? Lupakan saja suamimu. Biarlah dia menggapai mimpi-mimpi kebahagiaan yang kau inginkan. Dan engkau, mari kita bangun kebahagiaan baru.” Dasa beringsut duduk di sebelah Chyntia yang selesai berenang.

“Terlalu percaya diri kau Dasa. Bank akan mengabarkan keberadaanku. Wibowo akan mengantarkan Romi untuk menjemputku.” Kata Chyntia.

Dasa terbahak sambil tangannya berusaha menggapai kepala Chyntia. Tapi, Chyntia menghindarinya. “Ketahuilah wahai Chyntia, Wibowo itu orangku. Sekarang tak lagi dia bekerja di Bank. Dia menjadi akunting di hotel ini.”

Chyntia menutup wajahnya. Isaknya mulai terdengar. Dasa menelan ludah melihat Chyntia terbungkuk dengan tubuh yang terbalut pakaian renang. Dimanakah dahulu Romi menemukan bidadari seperti ini? Mengapa bukan dirinya lebih dahulu yang bertemu dengan Chyntia. “Sudahlah, jangan menangis. Kita tunggu beberapa hari ini, mungkin ada kabar dari suamimu.” Dasa memeluk Chyntia. Kali ini Chyntia diam saja. Ada kedamaian di hati Dasa. Namun, semakin remuk hati Chyntia yang memang sudah hampir pupus harapan Romi dapat menemukannya disini.

Malam itu, Dasa mengajak Chyntia untuk makan malam bersama. Betapa anggun Chyntia mengenakan gaun panjang, dengan belahan dada lumayan lebar. Dasa minta pelayan untuk menghidupkan televisi. Sebuah berita membuat nafsu makan Chyntia hilang. Dikabarkan sebuah kapal terhempas ombak di perairan laut jawa. Daftar penumpang dipaparkan. Nama Romi dan Laksa ada dalam urutan.

Dalam Ledakan tangis Chyntia, Dasa kembali memberikan pelukan. “Tidak mungkin Romi meninggal. Pasti itu berita bohong…!” Chyntia berteriak-teriak semakin erat pelukan Dasa. Tak disangkal, ada kehangatan yang dirasakan Chyntia. Kedamaian menyelimuti Dasa.

Dipapahnya Chyntia menuju kamar. Setelah Chyntia tenang, Dasa meninggalkan kamar itu. Ketika keluar pintu, Wibowo kebetulan lewat. Pakaian Dasa kucel. Rambutnya juga acak-acakan.

“Darimana engkau, Wibowo?” suara Dasa terdengar agak gugup.

“Dari kantor, ini mau pulang.” Raut muka wibowo curiga. Ada apa malam seperti ini Dasa keluar dari kamar Chyntia. Namun, dia tak mempersoalkan hal itu. Dia berlalu menuju lift. Sedangkan Dasa berjalan ke arah kantor.

Belum sampai masuk kantor, ada seseorang memanggilnya dari belakang. “Ayah, ada yang ingin aku sampaikan kepada ayah.” Hendra, putra Dasa sudah membuntutuinya dari belakang. Berdua mereka masuk ke ruang kantor.

“Bukan aku tak setuju aku mempunyai ibu baru. Tapi, dia adalah perempuan yang bersuami.” Hendra membuak pembicaraan.

“Darimana kau tahu, nak? Pamanmu yang bilang padamu?” Dasa sudah menerka, pastilah Karna yang memberitahu putranya tersebut. “Nak, Ayah tidak akan menyentuh perempuan itu sebelum dia benar-benar mau aku sentuh. Percayalah, Ayahmu ini masih lelaki yang bisa menjadi panutan bagimu.” Dasa menepuk bahu putranya.

“Bukan hanya dari paman, aku melihat dari cara ayah memandang perempuan itu. Aku melihat Ayah sangat mengharapkannya. Melihat cara perempuan itu berpakaian di depan ayah, aku rasa dia sudah sangat terbuka kepada Ayah. Keseharian dia di kolam renang, membuat seluruh hotel terpusat perhatian kesana.” Hendra memaparkan segala macam hal yang dia lihat.

Hendra bukan anak kecil. Dia dipercaya Dasa memimpin sebuah perusahaan setelah menyelesaikan kuliahnya beberapa tahun lalu. Sebulan sekali, dia bertandang ke hotel ini untuk menyampaikan laporan. Namun, beberapa hari in dia sengaja tinggal di hotel. Melihat tingkah laku ayahnya.

Lelaki mana yang tak akan terpesona oleh kemolekan tubuh wanita semampai berparas cantik dan rambut berkilau hingga bahu. Apalagi dengan balutan pakaian yang sangat sedikit. Mungkin hal biasa untuk sang perempuan di kolam renang. Tetapi, itu merupakan api godaan yang membakar hasrat kejantanan.

Menjelang pagi, tiba-tiba recepsionist hotel memencet tombol memanggil satpam. Seorang lelaki mengobrak-abrik daftar tamu. Kemudian pergi begitu saja ke atas membawa satu kunci cadangan. Entah kunci kamar mana, dan yang jelas tak dapat di deteksi kamera pengintai karena dia juga mematikan sistem keamanan di hotel tersebut.

Kamar Chyntia terbuka tiba-tiba. Chyntia yang mengenakan pakaian tidur itu terkejut bukan kepalang. Dia langsung menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

“Maaf, jika lancang. Nama saya Norman. Saya akan membawa engkau pergi dari sini.” Kata Norman.

“Siapa engkau? Aku tidak mengenalmu.” Chyntia menolak.

“Saya kawan Romi dan Laksa. Mereka sudah menunggu.” Norman menjelaskan. “Kita tidak punya banyak waktu. Jika kau tak percaya, sebentar kuhubungi Romi dan Laksa.” Norman mengeluarkan ponsel dan memencet tombol menghubungi Romi.

“Bagaimana Norman, sudah bertemu kau dengan istriku?” tanya suara di seberang telepon. “Sudah Rom, tapi dia tak mau pergi dari sini. Engkau berbicara langsung saja dengannya.” Norman memberikan telepon kepada Chyntia.

“Duhai istriku, aku menyuruhnya untuk menjemputmu. Pergilah bersamanya. Aku menunggumu.” Kata Romi.

“Maaf, bukan aku tak mau pergi dari sini. Namun, aku tak mau keadaan lebih buruk lagi. Lebih baik engkau sendiri yang menjemputku. Aku tak percaya pada siapapun, kecuali engkau. Aku merindumu wahai pangeran belahan jiwaku. Aku merindumu…” jawab Chyntia. Hatinya bergetar mendengar suara Romi. Ia kembalikan telepon kepada Norman.

“Wahai engkau pemuda yang baik hati, katakan pada suamiku aku menunggunya disini. Aku sangat ingin pergi bersamanya.” Kata Chyntia.

“Baiklah, aku mohon diri. Akan kusampaikan pesan ini kepada Romi.” Norman menuju pintu, mengintip kemudian berlari.

Apapun yang ada di hadapannya, dia hancurkan. Lift dia hantam panelnya. Lampu-lampu dan kaca dia hancurkan. Selang-selang air dia buka hingga mengucur deras. Bahkan dapur hotel ini juga tak luput dari amukannya. Dia hilang dari kejaran para satpam meloncat pagar dan kemudian deru motor memecah pagi.

Romi mengetahui keberadaan Chyntia dari Wibowo. Malam itu, Romi menghubungi rekannya yang bekerja di Bank tempat Chyntia mendapatkan kredit. Dari situ, muncul nama Wibowo. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Wibowo yang kala malam itu memergoki Dasa keluar dari kamar Chyntia, merasa diperalat oleh Dasa. Ketika Romi menghubunginya, tanpa pikir panjang langsung dia sebutkan dimana keberadaan Chyntia. Dan Norman, menjadi eksekutor untuk menjemput Chyntia.

“Rom, aku tak kuasa mengajak Chyntia kemari. Dia tak mau pergi selain bersamamu.” Norman melapor kepada Romi.

“Apa maunya perempuan itu? Ataukah ini jebakan?” Romi merasa khawatir. Sudah sekian hari istrinya itu tinggal di hotel. Mungkinkah dia mendapatkan hati yang lain. Atau mungkin tubuhnya sudah menjadi santapan para konglomerat di hotel itu. Pikiran Romi mulai menerka-nerka.

Tak mungkin pikiran-pikiran kotor itu timbul jika sebelumnya tak menemui kotoran. Otak adalah imajinasi. Memory yang sangat besar. Bahkan Dunia ini tak mampu menampung verbalitas dari otak. Nilai yang diberikan kepada orang lain, itulah yang dipikirkan.

Kecurigaan Romi berdasar pada pengalamannya dibius dan dilucuti perempuan upeti di seberang lautan beberpa hari lalu. Bagaimana istrinya bisa bertahan hidup di hotel tanpa ada uang yang dia punya, jika tak menjajakan tubuhnya.

Atas nama cinta, Romi bergegas menuju hotel tersebut. Namun, dicegah oleh Laksa. “Hendaknya, abang berpikir lebih tenang. Sekarang, di hotel itu pasti banyak polisi. Keamanan juga diperketat.” Laksa meredam kakaknya.

“Tidak adikku, kau tahu iparmu ingin aku sendiri yang menjemputnya. Aku akan menghadapi rintangan itu.” Romi mulai berjalan ke arah motor yang tadi dipergunakan Norman.

“Aku tak mau kehilangan engkau. Begitu pula Chyntia. Pasti dia mengerti apa yang terjadi dengan kita. Disini.” Kata Laksa. “Norman, bisa kau hubungi kawan-kawanmu di sini? Lusa kita bersama-sama ke hotel itu menjemput Chyntia.” Laksa berkata kepada Norman.

“Baik, aku akan siapkan rekan-rekan untuk esok lusa.” Norman mengambil motor yang ditunggangi Romi. kemudian meninggalkan mereka berdua.

Suasana di hotel gaduh. Dasa meminta pengamanan lebih diperketat. Disuruhnya Hendra memimpin komando keamanan. Karna, sang adik di berinya tanggung jawab memimpin hotel. Sedangkan dia sendiri keluar mencari biang kerok kejadian pagi ini.

Bersama beberapa polisi, Dasa menyisir terminal, pasar, dan pusat-pusat keramaian. Terakhir ditujunya tempat tinggal wibowo. Tapi, tak dia temukan orang itu. Tak ada seorangpun yang tahu kamar Chyntia selain wibowo dan beberapa pelayan kamar kepercayaannya. Para pelayan masih berada di hotel. Sedang Wibowo tak kelihatan batang hidungnya hingga siang ini.

Romi dan Laksa bertemu lagi dengan Wibowo di sebuah hotel di pinggir kota. Laksa menyusun strategi. Wibowo memberikan gambaran keadaan hotel. Hingga sore mereka baru selesai. Setelah makan, Laksa pamit untuk ke bawah melihat-lihat keadaan di luar. Tak disangka ternyata dia meluncur sendiri ke hotel tempat Chyntia.

Laksa menyelinap dalam ketatnya penjagaan. Dia langsung menuju kamar tempat Chyntia. Betapa kagetnya Laksa, ternyata bukan Chyntia yang dia temui. Tapi beberapa pengawal bayaran dan Hendra berada disitu. Laksa segera berlari. Namun, malang baginya. Sebuah pukulan rotan mendarat di bahunya ketika sudah mendekati jalan. Tangan kirinya seketika itu juga seperti mati rasa.

Beruntung dia masih bisa melarikan diri. Sesampainya di hotel, Romi yang kalang kabut melihat keadaan adiknya. Akan dibawanya ke rumah sakit. Namun, laksa menolak. Ke Rumah sakit, sama saja masuk ke mulut hariamau. Disana pasti sudah banyak polisi yang mencari dirinya. Norman yang sudah berada disitu usul, dibawa saja ke klinik terdekat. Namun, masih saja Laksa menolak.

“Baik, jika kau tak mau aku yang akan membawa dokter kemari. Kau tahan dulu.” Norman pergi tanpa menunggu persetujuan dari Laksa maupun Romi. Bagi Norman, apapun bisa terjadi. Semua masalah asti ada jalan keluar. Inspirasi dan obsesi menjadikannya mampu melakukan apapun.

Dua hari setelah peristiwa penyerangan itu, Romi, Laksa, Norman dan Wibowo bersama-sama menuju hotel Dasa. Sudah barang tentu di belakang mereka pasukan Norman bersiaga jika terjadi sesuatu hal.

“Bisa bertemu dengan Pak Dasa?” Romi bertanya kepada pada recepsionist.

“Maaf, boleh saya tahu siapakah anda?” balas bertanya. Romi memberi komando kepada Norman untuk mempersiapkan pasukannya. Namun, Norman maju, mendekat ke recepsionist. “Beri tahu saja dimana ruangan dia. Biar kami jalan sendiri.” Norman menggertak. Seketika itu juga rekan-rekan Norman sudah berada di samping para satpam yang berjaga di situ.

Pintu hotel ditutup. Gerbang depan dijaga oleh beberpa orang Norman. para recepsionist disuruh meninggalkan tempatnya. Romi, Laksa, Norman menuju ruang Dasa. Wibowo tetap tinggal di depan.

Di depan Pintu ruang Dasa, Hendra berjaga dengan beberapa orang. Demi melihat kedatangan ketiga orang tersebut, Hendra memberi komando untuk menyerang. Laksa maju, “Maaf, kami hanya ingin mengambil yang kami punya. Kami tidak ingin ribut.” Hendra mengrungkan niatnya.

Norman tetap diluar. Dengan keadaan pintu terbuka, Romi dan Laksa sudah berada di hadapan Dasa dan Karna. Di sofa pojok duduk perempuan anggun dengan rambut tertata rapi yang tak lain adalah Chyntia.

“Wahai suami yang aku tunggu, engkau menepati janjimu.” Sambut Chyntia sembari berdiri. Dasa juga berdiri, “Apa sebenarnya yang menjadikanmu sangat dicintai oleh perempuan itu?” tanya Dasa.

“Aku dan Romi punya kesetiaan yang tak bisa di ukur oleh timbangan apapun.” Chyntia yang menjawab. Romi masih saja terdiam. Laksa berdiri di belakang Romi.

Jawaban Chyntia membuat Romi berpikir. Apa yang dia perjuangkan hingga kemari? Apakah Chyntia masih punya kesetiaan? Apakah dirinya masih bisa dianggap setia?

“Kakakku Dasa, sudah biarkan saja mereka pergi dari sini. Engkau juga harus menepati janjimu untuk membiarkan suami Chyntia menjemputnya.” Karna juga angkat bicara.

Laksa menepuk bahu Romi, mengisyaratkannya untuk menjemput Chyntia. Namun, Romi masih terdiam. “Ada apa kau tak segera memberi peluakn kepada istrimu?” tanya laksa.

Dasa bingung melihat kejadian itu. “Hey, sudah tak ada cintakah kau kepada istrimu?” Dasa beranjak dari tempat duduknya. “Kau tahu Chyntia, aku mencintaimu tulus meskipun engkau sudah bersuami. Aku tak mengharap lebih daripadamu selain kedamaian ketika kau disisiku.” Kata Dasa.

“Chyntia, kau menChyntia lelaki ini?” tanya Romi. Chyntia kembali terduduk. “Tega engkau bertanya itu kepadaku.” Chyntia seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan suaminya.

Hendra masuk, namun dihadang oleh Norman. akhirnya mereka berdua ahanya berdiri di depan pintu. Laksa mundur mendekati Hendra dan Norman.

“Apa yang sebenarnya sedang kau perjuangkan?” Karna bertanya kepada Romi sembari dia berjalan meninggalkan Romi, Dasa, dan Chyntia.

“Duhai kanda, aku menunggumu berhari-hari dengan menahan air mata di tempat ini tanpa ada seorangpun tahu akan derita yang aku rasakan. Kini engkau datang, aku harap membawa air membasuh penat dan sedihku. Apa yang engkau pikirkan?” Chyntia perlah mendekati Romi.

“Aku membawa kerinduan. Seluruh mimpi yang ditunggangi nafsumu mendapat kebahagiaan untuk kita berdua. Aku membawa keraguan akan seorang perempuan yang aku kenal. Masihkan dia istriku yang aku tinggalkan dengan selalu mendengar perintah dan kata-kataku?” Romi menatap tajam kepada istrinya.

Dasa bersandar di meja kerjanya, “Engkau berdua, jangan membuatku iri dan kecewa akan perjalan kisah kalian. Sudah barang tentu aku yang berkuasa atas tempat ini. Namun, tak sedikitpun aku berhak memerintah atas hati kalian. Bwalah istrimu pulang, wahai lelaki yang beruntung.” Kata Dasa.

“Engkau mudah berkata seperti itu setelah menikmati pesona istriku. Tak mungkin sepah tak dibuang. Sedangkan aku, akan menanggung segala perbuatanmu padanya. Kenangan pahit, trauma panjang yang telah kau berikan.” Rama menoleh ke arah Dasa.

Chyntia heran dengan apa yang dikatakan suaminya, “Setan apa yang hinggap di kepalamu? Dasa hanya berusaha untuk memiliki hatiku. Namun, tak pernah dia mendapatkan walau Cuma secuil.”

“Kau sudah mulai membelanya.” Kata Romi.

“Aku tidak membelanya.” Jawab Chyntia.

“Aku tak perlu dibela. Bagaimanapun aku salah telah berusaha mrnarik kapal yang tertambat di pelabuhan seberang. Namun, perlu kau ketahui, aku tulus memberikan apa yang aku punya kepada Chyntia.” Dasa menjelaskan.

“Atau mungkin, engkau telah menambatkan hati kepada perempuan di luar sana? Dengan alasan terjebak, engkau melupakan janji setia kita berdua?” Chyntia curiga.

Laksa hampir angkat bicara. Namun dicegah oleh Norman. ini urusan hati mereka berdua. Dalam hati laksa juga berkecamuk. Dalam mimpi, seringkali Chyntia hadir. Namun, untuk mendekati saja dia tak mampu. Lelaki harus punya prinsip.

“Bukan aku membela suamimu. Tak bisa disalahkan jika lelaki terjebak. Sebab, nafsu beranjak dari godaan kaum wanita. Tak semua lelaki mudah bernafsu. Namun, tak tak disangkal nafsu dari kaummu bisa membuat dunia ini runtuh.” Pandangan Dasa beralih ke Chyntia.

“Kau menyalahkan aku, hingga kau ingin memilikiku?” tanya Chyntia kepada Dasa.

“Ya…, segala macam hal yang kau lakukan tanpa kau perhatikan. Itulah yang membuat kaum sepertiku ingin selalu bersamamu.” Jawab Dasa.

Wajah Romi memerah menahan amarah, “Pesona apa yang kau tawarkan padanya, hingga dia ingin memilikmu?” tanyanya kepada Chyntia.

“Aku tak melakukan apapun.” Jawabnya.

Norman mundur meninggalkan ruangan tersebut. Laksa menghampiri kakak iparnya tersebut dan tiba-tiba menciumnya. Tangan Chyntia sudah berayun, namun ditahan olehnya, “Aku mencintaimu.” Setelah berkata itu, Laksa pergi tanpa menghiraukan Romi yang masih terpaku.

Karna dan Hendra mengajak para pengawal untuk pergi dari situ. Pintu ditutup, tiga anak manusia itu masih terpaku berdiri.

Cinta, keraguan, ketulusan, nafsu, dan kekuasaan menjadi alasan mereka masih berdiri tak beranjak. Tiba-tiba terdengar dua letusan suara tembakan. Namun, tak satupun dari orang-orang yang meninggalkan tempat tadi kembali lagi.

Mungkin Chyntia dan Romi dihabisi oleh Dasa yang tak rela melihat Chyntia kembali dalam pelukan lelaki yang meragukan kesetiaan seorang perempuan. Perempuan yang jika masih hidup akan menimbulkan malapetaka pebih besar lagi. Dan atas alasan tak tega jika Romi harus merana sendiri ditinggalkan Chyntia, dibunuhnya pula lelaki itu.

Atau Dasa dan Chyntia yang mati. Romi sudah gelap mata. Atas rasa cintanya yang begitu besar dan tak sanggup menerima Chyntia yang telah dia tinggalkan beberpa lama bersama Dasa, di akhirinyalah nyawa kedua orang itu.

Atau Dasa dan Romi yang ditembak mati oleh Chyntia. Dua lelaki yang sebenarnya memiliki nilai cinta sama bagi dirinya. Romi, atas keraguan terhadap kesetiaannya berkuranglah cintanya. Dasa, atas ketulusannya dari tiada kini menjadi ada cinta. Tanpa harus memilih, keduanya dikirim ke alam baka.

Atau mungkin hanya salah satu dari mereka. Dua tembakan, dua lobang. Pasti salah satu dari lelaki itu. Jika tidak Dasa berarti Romi. Namun, harga diri laki-laki tak bisa menerima jika cinta itu bekas. Cinta sisa dari lelaki lain.

Sepasang mata masih mengawasi adegan tragis ini. Laksa kembali berada di depan pintu demi mendengar suara letusan senjata tadi.. Ia menghampiri sosok yang masih berdiri memegang senjata. Pelukannya memberi kedamaian di hati kakak iparnya. Chyntia masih tidak percaya dengan yang dia lakukan. Membunuh para lelaki yang secara jujur berani mencintainya.

Tak seperti di kisah Ramayana seperti kebanyakan terdengar, dimana akhirnya Sinta dibawa pulang dan sang raja Dasamuka mati. Laksa menggandeng tangan Chyntia, meminta senjata yang masih dia genggam. Menuruni tangga menuju ruang depan yang sudah dijaga ketat oleh para aparat penegak hukum. Di depan para aparat ini, Laksa kembali mencium Chyntia. Tak disadari moncong senjata sudah mengarah ke perut Chyntia. Laksa menarik pelatuknya, perempuan itu mati dalam ciuman orang yang mencintainya secara diam-diam. Lelaki yang merubah cinta menjadi pembalasan dendam atas kematian kakaknya.

Sumber malapetaka telah mati. Pesona yang terkadang menjadi racun. Hati yang tak bisa disingkap dengan alat apapun. Nafsu yang menggila dan tak bisa dibendung oleh siapapun. Pusat dari sebagian besar sumber angkara murka para lelaki di dunia.

Sebentuk tubuh anggun, pesona pemikat para lelaki. Yang sayangnya, tak pandai dia menjaga nafsu, emosi dan keinginan. Mimpi-mimpi yang berbahaya kini roboh bersama tubuhnya. Cinta yang ditakdirkan harus bersama karena sebuah ikatan telah pergi. Rasa cinta yang muncul tiba-tiba dalam angkara juga sudah hilang. Cinta telah berubah menjadi kebencian. Cinta yang akhirnya membunuh para pemiliknya. © groengerineXI

Komentar