Mahameru 2007 (Part 5)

(Part IV)

Tepat tengah malam, kami membenahi tenda. Dingin Arcapada mendera seluruh tulang. sekadar mengencangkan tali saja, harus berdua.Menuju Mahameru, tak disarankan untuk membawa seluruh peralatan. Cukuplah Bekal makanan dan peralatan yang kemungkinan di butuhkan di perjalanan. Webing, Oxycan, Mantel, jacket, dan tak lupa air minum.

Senter menyala. Kiranya, kami yang paling dahulu berjalan. ternyata, di atas kami ada beberap
a orang yang sudah mulai perjalanan. Mungkin mereka datang di Arcapada ketika kami sedang terlelap dalam tidur. Jalan setapak, menuju Kalimati begitu ramia pagi ini. tapi, tak sepatah katapun yang terdengar. Hanya semacam bisikan yang kami dengar. Pohon-pohon di jalur ini seperti bayangan manusia yang berdiri tegak, mempersilahkan kami meneruskan perjalanan.

Sinar dari senter berpendar seperti lampu Flip-flop. Ketika cahaya jatuh ke tanah, tampak beberapa prasasti In Memoriam beberapa Pendaki yang tak selamat. inilah jembatan kelik.

Indi paling depan. di ikuti Alin dan Tami. Disusul Bram dan Ardi. Aku dan Yudi berada di paling
belakang.
Nafas tersengal-sengal. Bukan hanya karena k
adar oxigen yang menipis, tapi jalur ini lumayan berdebu serta Google dan penutup wajah yang cukup menghalangi hidung.

Niat ingin menyongsong mentari di Mahameru tak tersampaikan. ketika
di pertengahan jalur berpasir, Matahari sudah menggeliat di sebelah timur. Menyongsong kami yang masih berada di bawah di hiasi asap dari kawah Semeru.

Lelah dan hampir putus asa. Alin terlihat mulai melempar handuk putih, tanda menyerah. Bram yang tak rela hal itu terjadi, mulai memapahnya. Seperti tautan jiwa, Tami juga mulai terengah-engah. Bram akhirnya mengeluarkan webing untuk menarik mereka ke atas. Alin, Tami, Bram dan Yudi dahulu pernah menaklukkan puncak Rinjani bersama-sama. Kala itu, ada keinginanku untuk ikut. Namun apa daya, Izin Cuti tak aku dapat. Maklum, ketika itu aku masih karyawan baru.

Kawan-kawan meminta air. Bukan aku sombong atau egois, mereka tak aku beri. Aku berpikir, jika mereka aku beri s
ekarang, untuk turun kita bakal kehabisan amunisi.

Jam sudah menunjukkan hampir pukul 09.00 WIB. Aku mencoba memberi semangat ke
pada kawan-kawan untuk mempercepat langkah. Namun, wajah bersungut dari mereka yang aku dapat.

Yudi dan Indi sudah tak terlihat lagi di atas
. di bawah aku melihat Ardi dan Bram yang terseok-seok menarik Tami dan Alin. tak tega melihat itu, aku lempar satu botol air mineral kepada mereka. Dan konyolnya, (entah konyol atau apalah). sisa air mineral itu, mereka berikan kepada pendaki yang mulai turun dari puncak mahameru. Ahh... inilah namanya tolong menolong.

Setelah melewati pagi yang melelahkan, akhirnya kami sampai juga di Puncak Semeru. Puncak Abadi para Dewa. Genggam erat Peluk-Cium dan tangis mulai merebak. dan segalanya mulai terungkap di antara isak dekapan.

Yudi, Sahabat yang aku khianati, tentang kekasihnya yang aku
Cintai. Tak terkira, dialah yang mendorongku untuk sampai di Atap Pulau jawa ini. Maaf sahabat, aku mencintai mantan kekasihmu itu.
Indi, yang selama ini semacam patung hidup menjadi penunjuk arah kami semua, menampung kami sebelum berangkat ke gunung ini. Tak pula dia menggerutu atau bahkan memberikan arah yang salah. Padahal, kami senantiasa acuh dengan keberadaannya.
Tami Perempuan yang aku sayang, men
angis tersedu di pelukanku. Pernah dia di depan mataku berkhianat. semenjak itu tak pernah aku peduli padanya hingga saat ini. beberapa kali maaf dia ucap di Mahameru ini. aku hanya bisa diam. Dalam hati, sebelum maaf keluar dari bibirnya, aku sudah memberikannya. Namun, Luka yang tergores tetap akan membekas.
Ardi dia paling kecil di antara kami hanya melongo dan tersenyum melihat tingkah kami. Namun, dia juga berusaha ikut memeluk. Masa bodoh apa yang
terjadi, pokoknya ikut memeluk.
Sedang Bram, Dia memandang ke arah Barat sembari berucap, "Jam sepuluh nanti, harusnya aku berada di Gedung rektorat. Hari ini aku wisuda."
Hah..???

Mana mungkin kita bisa sampai di gedung rektorat jam sepuluh? sedang perjalanan ke sini saja, k
ita butuh waktu 2 hari.
"Ha..ha..ha..." Tawa Bram menggema. "sengaja aku menghindar dari acara itu."
Seorang Perempuan sudah menawan hatinya. Namun karena sebuah perbedaan, kecil kemungkinan mereka bisa bersama. Dan hari ini, Bram berusaha untuk menghindari pertemuan dengan orang
tua perempuan ini.

Air mata Alin masih menghias di Pipi dan kelopak matanya. kamis serentak memeluk dan mengucek-ucek kepalanya. Tak percaya dia bisa sampai di sini. Jika di Rinjani, bisa mendaki sambil bersantai-santai. Sedang
Semeru, tak bisa seperti itu. Waktu sangat menentukan.
Sesaat, kami menunggu keluarnya asap Semeru. Sayang sekali, kami sudah terlalu siang sampai di sini. Dan asap yang kami tunggu tak juga keluar. sempat kir
anya kami berlatar belakang asap, jika kami berangkat lebih pagi.

Prasasti Soe Hok Gie menjadi Point of Interest pengabadian bukti kami sampai di Puncak ini
. semua atribut yang kami sayang, yang dibawa, kami sandingkan dengan prasasti tersebut.
Seperti yang di anjurkan, sebelum pukul 10.00 WIB, kami mulai meninggalkan Mahameru.

Beraksi Layaknya Snowboarding di Televisi, Kami meloncat dan meluncur. Debu beterbangan, Tanah dan batu longsor ke bawah. Kami tak peduli. segala beban sudah terlepas di Mahameru. Tak ada lagi gunung yang ingin aku daki setelah Mahameru ini.
Aku sudah sampai di tempat tertinggi di pulau jawa.
Perjalanan dari mahameru menuju Arcapada te
rasa panas sekali. Google Penutup wajah, sampai jacket kita lepas. tak peduli dengan debu yang masuk ke paru-paru. Yang terpikir segera sampai di Arcapada dan meneguk air.

Tenda dan barang yang kami tinggal di Arca
pada tak berubah sedikitpun. Bergergas mengemasi barang, kemudian turun ke Ranu Kumbolo. Sore ini harus sampai di Ranu Kumbolo. Harus...!!!
Persediaan air cuma sampai nanti malam. Serta badan kotor terkena debu Semeru.

Berlari dan berlari, Itu yang dilakukan. Hari sudah mulai gelap. Tepat di Kalimati, kami mulai berpencar tak karuan. Indi di paling depan. Sudah tak bisa lagi mendengar teriakan Ardi kiranya. Seperti biasa Tami dan Alin ada di belakang Ardi. Aku dan Yudi paling belakang.

Di daerah Blok Jambangan, kesemuanya benar-benar terpencar. Caci Maki mulai memenuhi pikiranku. Selama carier Yudi masih terlihat, aku masih bisa bernafas lega. Jika kelebat carier tak terlihat, saatnya aku berlari kencang.

sampai di Ngoro-oro ombo terlihat semua kawan-kawan. Masih dengan formasi semula. Indi, Ardi, Alin dan Tami, Bram kemudian Yudi. Berkumpul kembali di Puncak Tanjakan Cinta. Caci maki aku urngkan. alasan Indi cukup masuk akal. Dia meninggalkan kami untuk lebih dahulu sampai di ranu kumbolo agar bisa mancari bantuan jika kami yang di belakang tak segera sampai ketika malam menjelang.

Malam di Ranu Kumbolo cukup hangat. Aku dan Yudi menikmati "Air hangat" berdua. Saat itulah pengakuan mulai terlontar.
"Kau masih berharap dia kembali?" tanyaku.
"A*%$NG.., kenapa kau tanya itu?" Ganti Yudi yang bertanya.
"aku teramat sayang pada adindaku." Jawabku.
"aku tahu itu."
"tapi sayang yang aku maksud ini beda."
"Maksudmu?" Yudi penasaran.
"Sebelum kau memilikinya, aku yang terlebih dahulu menyanyanginya. Hanya saja, aku tak mampu mengungkapkan, dan tak mampu berbuat sesuatu yang menunjukkan besarnya sayangku padanya." jawabku lagi.

Hening. Tiba-tiba saja malam ini terasa mencekam. Air di Danau serasa tak bergerak. Api unggun terlihat membesar. Mungkin sepadan dengan amarah Yudi.
Kau boleh marah sahabat, kau boleh menghujam jantungku dengan golok yang ada di depan kita ini. Tapi, aku kira itu akan percuma. Dia tak akan kembali kepadamu. Dendammu sudah cukup menutup pintu dimana dia dulu masuk. sedang aku, tak pernah pintu itu tertutup. hanya saja, dia juga tak pernah masuk.
"Jika kau benar sayang padanya, kenapa kau malah memberikan dia padaku, dan kau memilih Vania?" lanjut Yudi. Aku gagu. Aku tak bisa menjawab. Tak masuk akal jika aku sayang mereka berdua. lebih tepat kiranya jika amencinta mereka.
"Aku mencoba memisahkan antara Cinta dan rasa ingin memiliki." hanya itu yang keluar dari mulutku.

Sudah "tinggi" kiranya ketika sadar kawan-kawan yang lain mulai bergabung dengan kami berdua. Tak ada hujaman golok, tak pula api unggun membakarku. dan pula, mulai terdengar suara air danau mulai beriak.
Alin duduk tepat di depanku bersama Bram dan Ardi. Indi sibuk sendiri dengan api unggun yang mulai meredup.

Tami mengambil tempat di sebelahku. Mulai dia bergelanyut di lenganku.
Aku coba menyungging senyum. Tapi karena "tinggi" aku tak tahu, senyum manis atau sinis yang terpampang. Hingga akhirnya Tami melepas lenganku dan mulai tertunduk...


*(To Be Continued

Komentar