Tak Hilang dan kehilangan

Nino tergopoh berlari dari taksi menuju pintu masuk bandara. Soekarno-hatta pagi ini terasa dingin. Namun, tidak dirasakan oleh Nino yang harus sudah berada di jogja siang ini. Telepon selularnya berdering, dia mengangkatnya sembari masih setengah berlari ke arah loket. “Belum, ini mas baru berada di bandara.” Setelah itu dia matikan ponsel, merogoh saku belakangnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar tiket yang dia pesan kemarin.

Sementara itu suasana wisuda di graha saba penuh sesak oleh para mahasiswa dan orang tua. Halaman penuh dengan mobil yang diparkir hingga ke boulevard universitas ternama di kota jogja ini. Wajah hingar-bingar para mahasiswa, serta aura kebanggaan dari para orang tua menyelimuti suasana pagi di universitas Gadjah Mada. Sebagian wajah yang mungkin satu atau dua bulan ke depan akan segera berkerut mendapatkan kenyataan sedang berperan sebagai pengangguran

“Mas Nino belum kelihatan, Fa?”seorang mahasiswi bertanya kepada teman di sebelahnya. Fafa, mahasiswi kedokteran itu menoleh ke kiri dan kanan mencari-cari seseorang. Kemudian dia ambil ponsel, menelepon sesorang. “Belum Ran, mungkin sedang dalam perjalanan. Ponselnya juga dimatikan.” Fafa terlihat gusar.

Pesawat yang ditumpangi Nino terasa sangat lama. Biasanya dalam sekejap saja dia rasa sudah sampai di tujuan. Ingin rasanya berjalan ke ruang pilot dan minta untuk sedikit ngebut. Tidak ada di pesawat ini larangan untuk pilot kebut-kebutan di udara. Tidak pula ada larangan untuk bicara dengan pilot seperti di bus.

Beberapa menit sebelum pesawat mendarat, Nino tertidur. Hingga seseorang di sebelahnya yang juga tertidur, meletakkan kepalanya di bahu Nino. Nino terbangun dan hanya bisa diam. Menikmati harum bau rambut orang yang menitipkan kepala di bahunya. Diberanikan dirinya melirik. Terlihat kuku yang rapi dan lentik jari sang penumpang tersebut. Akan diajaknya berkenalan jika orang ini terbangun nanti.

Dia merasakan ada yang basah di lengannya. Apakah pendingin dari peawat ini bocor? “Slurp… maaf, mas saya tidak sengaja menyandar di bahu mas.” Penumpang itu terbangun dan menyeka bibirnya. Nino membatalkan niatnya untuk berkenalan. Penumpang itu telah meninggalkan kenangan di kemeja Nino. Garis basah yang jangan ditanya seperti apa bentuknya.

Sesampai di adisucipto, kamar mandi yang Nino tuju untuk pertama kalinya. Membasahi kemeja yang terkena air liur tadi, kemudian mengeringkannya. Di luar matahari sudah menyengat. Ponsel sudah berada di telinganya, “Bro…, aku udah di bandara ini.” Sejenak kemudian matanya mencari-cari sesutu di halaman parkir.

Sebuah mobil bak terbuka dengan belakang penuh dengan perabot rumah tangga menghampirinya. “Naik.., No!” teriak orang yang berada di dalam mobil kepada Nino. Seluruh mata tertuju ke mobil tersebut. Di bagian samping mobil tersebut jelas tertulis, ‘Dibeli barang bekas anda.’ Lengkap dengan corong pengeras suara ada di atas kap mobil.

“Mobil dapet dari mana ini, Bro?” Nino penasaran. Sedangkan yang ditanya sibuk menekan gas dan kopling dan memegang persneling yang kelihatannya sulit sekali untuk mengoperasikannya. “Ini mobil temen. Tadi dia baru makan di warung sebelah. Kendaraanku sedang tidak ada bensinnya, makanya aku pinjam kendaraannya.”

Ketika mobil akan langsung di arahkan ke jalan menuju UGM, Nino minta untuk mengembalikan dahulu mobil yang di pinjam ini kepada pemiliknya. Andi, teman Nino yang oleh sebagian rekan-rekan yang lain dikatakan ‘sudah putus urat malunya’ ini, menurut apa yang di inginkan Nino.

Mobil telah dikembalikan dengan tak kurang suatu apapun. Nino minta Andi untuk memanggil taksi. Di perempatan jalan besar biasanya ada taksi yang berbaris. Namun, kali ini tak ada satupun yang parkir disitu. Andi memanggil becak yang terparkir di seberang jalan. Nino merasakan ada gelagat kurang mengenakkan. Dan ternyata benar, Andi mengajak Nino pergi ke kampus naik becak berdua. Pengalaman pertama bagi Nino naik becak, dipandangi seluruh manusia yang berada di Boulevard Universitas Gadjah Mada.

“Mana dia, No?” tanya andi ketika sudah berada di Graha Saba.

“Aku juga belum pernah ketemu, An!”

“Hlah…, katanya udah jadian beberapa bulan. Kok belum pernah ketemu?”

“Iya…kita jadian lewat internet Bro. Kalo’ tatap muka langsung belum pernah.” Jawab Nino masih dengan mata jelalatan mencari seseorang di antara kerumunan manusia. Sedang di pikiran Andi hanya ada kata ‘tak masuk akal’. Orang jadian, sepakat untuk berjalan bersama hanya lewat internet. Hanya dengan kata yang tanpa ekspresi.

Hampir beberapa menit, Nino tak menemukan Fafa. Hingga akhirnya Andi berinisiatif meminjam pengeras suara kecil dari mahasiswa yang menjadi panitia acara wisuda tersebut. “Fafa, dicari pacarnya Nino dari Jakarta…” Serentak semua mata menuju ke arah Andi dan Nino berdiri. Andi tanpa ekspresi, sedang Nino salah tingkah. Pengeras suara ditrebut oleh Nino dan dikembalikan ke pemiliknya.

“Apa-apa’an sih lu? Bikin malu aja.” Nino menggandeng Andi untuk meninggalkan tempat tersebut. “Lhoh, daripada tidak segera ketemu, mending kan seperti itu. Kalo’ dia denger, pasti segera menghampiri kita.” Sanggah Andi.

Nino mengeluarkan Ponsel, “Pake ini juga bisa, bego..! tinggal tanya dimana posisi dia, ntar juga ketemu.” Andi ngeloyor pergi mencari tempat duduk di bawah pohon rindang.

Nino berjalan ke arah dalam Graha Saba. Ditemukannya wajah mirip Fafa masih berfoto dengan rekan-rekannya. Sejenak dia mengamati wajah itu. Keraguan menyelimuti pikirannya. Selama ini, dia melihat wajah Fafa hanya dalam foto di Friendster. Nino kembali mengambil Ponselnya dan menelepon Fafa. Ketika orang yang di depannya itu mengangkat telepon, baruloah Nino yakin jika di depannya itu adalah Fafa, orang yang dia cari siang ini.

“Hai…” Sapa Nino ketika sudah berada di dekat Fafa.

“Hey…” Fafa membalas sapa’an tersebut sambil mengamati wajah yang ada di depannya tersebut. Dia cepat-cepat membuka seluruh memori yang ada di otaknya. Namun, tak diketemukannya kenangan tentang orang yang ada di depannya ini.

Fafa mengulurkan tangannya. Berjabat dengan manusia di hadapannya, serasa ada getaran yang sudah lama dia rasakan. Secepat kilat, hadir sebuah nama yang tak diragukan lagi kebenarannya. “Mas Nino sama siapa?” Fafa masih belum melepaskan genggaman tangan Nino. “Sama teman mas, dia ada di luar.” Senyum merekah dari wajah Nino yang dari tadi menghitam disengat matahari.

Nino dan Fafa berjalan bersama. Orang tua Fafa berada di depan mereka. Sesekali Fafa menyapa temannya yang masih berada di lingkungan gedung tersebut.

“Kaget ya, melihat mas ternyata lebih hitam dari yang di foto?” tanya Nino.

“Ha..ha..ha… tidak. Yang penting kehangatan mas, tidak berbeda antara di alam maya dan nyata seperti ini.”

Angan Nino dan Fafa melayang beberapa bulan yang lalu. Ketika Fafa masih sibuk mencari bahan skripsi di internet dan Nino yang kala itu sering berkirim email untuk klien. Tak sengaja mereka dipertemukan di yahoo mesenger. Fasilitas chating yang sangat akrab bagi para netter. Berawal hanya untuk mengisi kebosanan di depan monitor. Canda tawa sembari melaksanakan tujuan utama berselancar di dunia maya.

Lama-lama mereka merasa nyaman satu sama lain untuk bercerita mengenai hal-hal lain. Tentang klien Nino yang menyebalkan, presentasi yang berjalan lanacar, atau sekadar ban mobil yang kempes terkena paku. Fafa menanggapi semua hal secara mengalir saja. Untuk bercerita kepada Nino tentang masakannya hari ini atau perjalanannya ke kampus, menjadi suatu hal yang lumrah dan bahkan seperti wajib di setiap hari.

Jakarta-Jogja terasa dekat sekali. Tak hanya itu, hanya dengan login memasukkan ID dan Password sudah bisa merambah di setiap sudut belahan dunia manapun. Sesekali Fafa menceritakan tentang kesendiriannya, tak ada seseorang yang mampu meruntuhkan hatinya. Mungkin pria-pria itu melihat gelar yang akan disandangnya. Mereka tidak melihat seorang dokter juga butuh kasih sayang seorang lelaki.

Nino menanggapi segala hal itu dengan bijak. Terkadang memberikan petuah-petuah yang dia dapat dari pengalamannya selama ini. Banyak wanita yang menggandrungi Nino. Tapi tak seorangpun yang bisa membuat Nino bertekuk lutut. Nino hanya memperlakukan mereka sebagai teman, namun para wanita itu terkadang berharap lebih.

Pada suatu malam, tidak disengaja mereka berdua bertemu lagi di dunia tanpa batas itu. Biasanya mereka online di siang hari. Kali ini ada keresahan di hati Nino. Maka dia berencana mencari hiburan di internet. Sedangkan Fafa, malam ini harus segera mencari referensi untuk ujian salah satu mata kuliah di kampusnya.

“Selamat malam Fa… lg ngapain?” tulis Nino

“Hai mas… Ini lagi cari bahan buat ujian lusa.”

“Tumben. Biasanya siang hari carinya. Online dari mana neeh?” tanya Nino.

“Ini dari rumah. Iya mas. Kalo’ gak dicari sekarang, takutnya besok lupa.” Jawab Fafa sembari membubuhkan emoticon simbol khawatir. Nino membalasnya dengan emoticon senyuman. “Eh, boleh aku tahu nomor teleponmu?” tak biasanya Nino bertanya nomer telepon. Seringkali lawan chatingnya yang meminta nomer kepadanya.

“Maaf, mas Nino ini sudah berkeluarga belum? Atau mungkin sudah memiliki pasangan. Bukannya fafa tidak mau memberi tahu nomer fafa. Tp, fafa khawatir mengganggu ketentraman hidup mas Nino.” Fafa berhati-hati, tidak ingin menyinggung Nino. “Kenapa Fafa tanyakan itu?” tanya Nino. Fafa menjelaskan tentang segala hal yang dikatakan Nino mengenai hal pasangan, curhat yang dia sampaikan ke Nino, sepertinya Nino sudah memiliki pasangan atau sudah berkeluarga. Nino terkesan begitu memahami pasangannya.

Nino tertawa, tidak menyangka ada orang yang berpikir jika dia sudah berkeluarga. Balas Nino yang menantang Fafa untuk menjadi pacarnya. Dianggapnya bercanda, Fafa mengiyakan, setuju untuk menjadi pacar Nino.

Semenjak saat itu, mereka seperti sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Hampir setiap malam online, menceritakan hari yang dilalui. Setiap waktu makan, pasti ada sms yang mengingatkan atau sekedar mengucapkan selamat makan.

Tidak terasa, hal itu sudah berjalan beberpa bulan. Terkadang mereka juga bertengkar mengenai hal-hal kecil. Tentang telepon yang tidak di angkat, atau sms yang tidak segera di balas. Waktu bergulir hubungan mereka semakin dekat, meski belum pernah bertemu secara fisik.

Menjelang hari wisuda, Fafa mengabarkan acara tersebut kepada Nino. Dia ingin ada orang yang mendampinginya selain ayah dan ibunya. Nino menyanggupi untuk datang di acara tersebut. Menjadi hari spesial buat mereka, untuk kali pertama mereka akan bertemu muka.

Sayangnya, malam sebelum keberangkatan ke jogja Nino melihat pertandingan sepakbola hingga dini hari. Akibatnya, dia terlambat untuk berangkat dengan pesawat paling pagi. Sesampai di jogja sudah siang. Acara wisuda juga sudah selesai. Nino dan Fafa hanya bisa berfoto bersama sebentar, kemudian berjalan ke mobil Fafa.

Setelah mobil Fafa pergi, Nino naik taksi keluar dari lingkungan kampus ini. Demi melihat becak yang sedang mangkal di perempatan jalan, Nino menepuk jidatnya, Ya ampun, Andi masih tertinggal di kampus. “Pak, kita putar balik ke kampus pak. Masih ada yang tertinggal disana.” Teriak Nino kepada sopir taksi. Tak berapa lama, terlihat Andi yang tertidur di bawah pohon dengan mulut menganga.

Malam yang indah di sebuah rumah makan daerah Seturan. Berhiaskan lampu minyak, Nino dan Fafa makan malam bersama untuk pertama kali. Bagi Nino, makan malam seperti ini adalah hal biasa. Namun kali ini berbeda, bukan tentang menaklukkan hati seorang perempuan. Sebuah kesabaran untuk dapat memahami seorang perempuan tidaklah mudah. Harus mampu menyelami apa yang ada di dalam hatinya. Mengetahui palung yang terdalam tanpa harus kontak fisik. Hanya dari kata serta simbol-simbol yang tersirat dari pembicaraan di dunia maya.

“Mungkin aku akan sangat mencintaimu, Fa” kata Nino sembari meraih tangan Fafa. Kata-kata yang baru kali ini keluar dari mulut seorang Nino. Fafa hanya tersipu, terdiam. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Hanya anggukkan kecil dan tatapan penuh harapan agar hubungan ini tidak hanya sebatas pemahaman saja.

Ganjalan terbesar di hati Fafa adalah kemauan orang tua Fafa untuk mendapatkan seorang menantu yang benar-benar mapan. Sedangkan Nino adalah seorang pengusaha muda entertainment. Dimana turun naik pendapatan tidaklah pasti. Jika hati sudah bertaut, gunung meletuspun tak kan menghalangi kemauan dua anak manusia untuk bersama.

Nino mengetahui perihal kemauan orang tua Fafa tersebut. Wajar adanya jika orang tua ingin anak gadisnya hidup bahagia kelak. Dia berjanji akan menemui orang tua Fafa bila saatnya nanti. Fafa ingin Nino meluruhkan dulu hati ayahnya. Jangan terlalu berharap banyak dahulu sebelum ada kata yang keluar dari Ayah dan bundanya.

Nino harus segera kembali ke Jakarta. Banyak pekerjaan yang menunggu. Berat hati Fafa melepaskan Nino. Nino serasa ingin membawa fafa ke Jakarta. Untuk senantiasa di dekatnya. Menuruti kata hati tidaklah selalu bijak. Harus melihat kenyataan yang ada. Nino masih mempunyai tanggung jawab, begitu pula Fafa.

Intensitas online mereka berdua meningkat. Setiap malam sebelum tidur dan pagi menjelang berangkat ke kantor, Nino menyempatkan login dan menyapa Fafa. Tidak hanya bercerita mengenai mimpi mereka tadi malam, atau perjalanan sehari ini. Mereka sudah mulai mereka-reka rencana di masa depan.

“Kapan mas akan bertemu orang tuaku?” tanya Fafa di suatu malam. Nino terdiam. Dia pandangi monitor komputer tanpa berkedip. Tangannya menjauh dari keyboard. Tak lama kemudian, dia sudah memegang ponsel dan menelepon Fafa. “Esok pagi aku akan ke tempatmu bertemu orang tuamu.”

Malam itu juga Nino berangkat ke jogja naik kereta terakhir dari stasiun Gambir. Tak lupa dia mengirim kabar ke Andi, minta tolong menjemputnya di stasiun esok pagi. Andi garuk-garuk kepala. Pakai apa dia akan menjemput Nino. Bensin di motor sudah barang tentu kosong. Penjual bensin jauh dari rumah. Sepagi itu, pasti belum ada tukang barang bekas yang bisa dipinjam kendaraannya. Naik bus sajalah…

Pagi itu, belum juga mandi, Andi sudah nongkrong di stasiun kereta. Di Pintu keluar lebih tepatnya. Untuk masuk ke ruang tunggu harus membayar dua ribu rupiah. Uang sudah habis buat naik bus. Sembari berlagak sok kenal dengan beberapa pedagang asongan, Andi menunggu kedatangan Nino.

Pedagang yang diajaknya ngobrol, malah sibuk dengan ponselnya. Andi penasaran, dari tadi ponsel itu tidak mengeluarkan suara tanda sms dibalas. Namun si pedagang itu sibuk jemarinya di atas keypad. “main game ya, mas?” tanya Andi. Si Pedagang menoleh, “Enggak, ini lagi chatting.” Walah, Pedagang asongan kenal juga chatting. Hebat, berarti ponsel yang dia pegang lebih bagus daripada ponsel di punyai Andi. Sebab, Ponsel Andi hanya bisa untuk sms, telepon dan kalkulator. Kalkulator yang sering dia gunakan untuk menghitung total hutang di akhir bulan.

Menunggu adalah sesuatu yang membosankan. Namun, bagi Andi menunggu adalah sebuah kesempatan untuk melatih kesabaran serta mempelajari sesuatu dari kondisi diam. Melatih diri untuk lebih kreatif, mengusir kebosanan. Entah itu membuka obrolan dengan orang di sekitarnya atau sekadar bersiul kecil, bersenandung. Jika tak ada orang dan dia malas bersiul, mengobrol dengan tembok atau pohon di pinggir jalan bisa dia lakukan.

Kereta datang ketika obrolan Andi dengan pedangang asongan itu layaknya sahabat lama yang sedang curhat. Kelihatan begitu dekat, canda tawa lepas. Lumayanlah untuk Andi, dapat sebatang rokok gratis.

Taksi melaju ke arah rumah Andi. Mungkin lebih tepat disebut gudang tempat ini. Potongan kertas, bekas cat, dan puntung rokok, kaleng minuman berserakan di hampir semua tempat. Siang itu, Nino mengajak Andi untuk membahas tujuan kedatangannya ke jogja kali ini. Sambil menguyah ayam goreng yang dibelikan Nino, dia dengarkan semua yang diceritakan Nino.

Wajar saja orang tua ingin anak-anaknya bahagia. Tak terkecuali ayah Fafa. Mungkin tak terpikirkan oleh seorang ayah adalah perkara hati seorang perempuan, yang lebih banyak menggunakan rasa daripada pikiran rasional.

Cinta saja tak cukup untuk mengembangkan layar bahtera rumah tangga. Dua manusia, tak mungkin bisa bersatu. Ada perbedaan-perbedaan yang bila dipaksa bersatu akan membuat letupan-letupan, membangun bom waktu tanpa disadari. Dua manusia tidak disatukan. Dua manusia yang ingin hidup bersama, harus saling memahami satu sama lain.

Andi menyulut rokoknya dan menghabiskan minuman di kalengnya. “Apa yang akan kau lakukan sekarang, No? Apa yang akan kau katakan ketika bertemu dengan orang tua Fafa?”

“Itulah, aku juga bingung. Makanya aku minta saranmu!”

“Bilang saja, kau ingin menikahi anaknya.”

“Begitukah? Ngedengerin lu ngomong sih gampang. Giliran di depan orang tuanya, buat ambil nafas aja gue perlu tabung oksigen, An..!” Nino bernajka dari tempat duduknya, berjalan ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Dipandangi wajahnya di cewrmin sembari muncul pertanyaan, adakah keberanian dalam diri ini.

Menjelang matahari berangsur hilang, Nino sudah berada di rumah Fafa. Ayah Fafa tampak tak peduli dengan kedatangan Nino. Untuk sekadar bersalaman dan melempar sedikit senyum saja enggan. Lebih memilih pura-pura tidak mendengar ketika Fafa berteriak mengenai kedatangan Nino. Hanya ibu Fafa yang ke depan dan mempersilahkan Nino duduk.

Makan malam di rumah Fafa serasa seperti sedang duduk di kursi pesakitan pengadilan. Hakim dan tersangka duduk berhadapan. Ibu Fafa mencoba mencairkan suasana dengan bertanya hal-hal ringan kepada Nino. Keadaan kembali tegang ketika terlontar pertanyaan dari sang ayah. “Apa yang nak Nino kerjakan di Jakarta? Bukankah ini hari kerja? Nak Nino membolos, atau memang sengaja mengambil cuti untuk datang kesini?” Nino benar-benar butuh tabung oksigen untuk saat ini.

Nino memutar otak, mencari cara menjelaskan keadaannya di Jakarta. Dengan penuh rasa hormat dia sodorkan kartu nama. Tertulis pula disitu jabatan dia sebagai pimpinan. Ayah fafa hanya melirik sejenak, “buat apa nak Nino menyodorkan kartu nama kepada saya?”

“Ini adalah perusahaan yang saya bangun kurang lebih tujuh tahun yang lalu. Dari nol, dengan tenaga dan pikiran saya om. Mungkin belum mapan menurut standart om, namun perusahaan ini yang menghidupi saya hingga sekarang.” Nino menjelaskan dengan penuh perasaan was-was.

Ibu Fafa mengambil kartu nama tersebut. Kemudian meletakkannya lagi ketika dilihat lirikan mata sang ayah kurang senang dengan sikap istrinya itu.

Ayah Fafa membersihkan sudut bibirnya dengan kain di meja makan, “Mapan atau belum, itu memang beda pada setiap orang. Yang perlu saya tekankan kepada nak Nino, kesanggupan dan kesungguhan nak Nino untuk menyayangi anak saya. Meskipun dia harus nak Nino ajak hidup di kolong jembatan, yang penting nak Nino sanggup menjaganya serta membahagiakan dia.”

Setelah menghabiskan minumnya, Ayah Fafa meninggalkan meja makan. Nino, Fafa, dan ibunya yang berusaha senantiasa menyungging senyum masih terdiam di meja makan. Malam ini terasa mencekam buat Nino. Makan malam yang tak akan terlupa dalam hidupnya.

Tak ada perbincangan lain dengan ayah Fafa selain di meja makan tadi. Canda tawa di teras depan kali ini juga terasa mencekam. Seperti diawasi mata-mata yang siap untuk menghukum jika ada sedikit saja kesalahan pada dirinya.

Sepulang dari tempat Fafa, Nino tidak bisa tidur. Melamun di balkon depan tempat tinggal Andy. Melihat rembulan yang sinarnya tertutup awan. Pikirannya melayang kepada harapan-harapan yang pernah dia buat bersama Fafa. Tentang bulan madu di bali, tentang memiliki anak sebanyak mungkin.

Berkecamuk di dalam diri Nino antara kata hati dan kenyataan yang ada. Logika dan perasaan saling beradu pendapat. Tak satupun mampu menguasai perbincangan dalam nurani. Logika mengatakan untuk meninggalkan saja kenyataan situasi semacam ini. Sedangkan dalam perasaan berat hati untuk meninggalkan orang yang terkasih selama ini. Tak ada masalah yang tak selesai. Hanya saja berapa waktu yang dibutuhkan menjawab rahasia Tuhan, inilah yang tak sabar ditunggunya.

Terdengar langkah kaki mendekat ke arah Nino. Tak dia pedulikan, namun cukup mengusik lamunannya malam ini. ”Tak segera tidur kau?” Andi duduk di sebelahnya sembari menyorongkan sekaleng minuman. Nino hanya tersenyum menerima kaleng tersebut.

”kebahagiaan tidak di ukur dari seberapa mampu engkau memberi. Tapi juga kesanggupanmu menerima.” tiba-tiba saja keluar kata-kata dari mulut Andi yang selesai di usap dengan lengannya karena ada lelehan minuman .

”Maksudmu?” tanya Nino.

Kenangan Andi melayang kepada waktu silam. Ketika Nino membawa perempuan sebagai orang ketiga dalam hubungan Fafa dan Nino. Kala itu, Andi hanya tersenyum. Hanya sedikit mengingatkan Andi kepada Nino untuk tidak bermain api. Jika terbakar, pasti akan hangus. Dan arang yang tertinggal akan selalu membayangi kehidupannya.

”Apa yang tak bisa aku terima, An? Cinta fafa, keadaan keluarga Fafa? Aku bisa menerima itu. Tapi, apa perlakuan keluarga mereka padaku? Mereka hanya memandangku sebelah mata.”

”Engkau belum bisa menerima Fafa. Engkau selalu membandingkan dia dengan orang lain, dengan keluarga lain, dengan materi orang lain. Kecantikan, kebaikan hatinya, kecerdasannya. Jika kau selalu meliuhat itu, nisacaya tak kan kau temukan orang yang akan menjadi pendamping hidupmu.” jelas Andi.

Andi membuka semua kelakuan dan sikap Nino selama ini. Wanita, tidak hanya bisa dibahagiakan dengan materi, uang, atau dimanjakan saja. Mereka ingin dimengerti. Berapa banyak wanita yang pernah jatuh kedalam pelukan Nino. Tak satupun yang Nino pertahankan. Sebab, ada saja sifat, kelakuan, atau lingkungan yang dimiliki wanita itu dijadikan Nino alasan meninggalkannya.

Masih ingat dalam benak Nino kata-kata Andi beberapa bulan silam. Jika engkau menginginkan perempuan yang berambut panjang, jangan kau cari yang rambutnya sudah panjang. Cari yang masih pendek. Kemudian kau yang merawat untuk memanjangkannya sesuai yang kau inginkan, dengan persetujuan pemilik rambut. Jikalau ternyata ketika sudah panjang dan dia pergi. Berarti ada yang salah dengan caramu merawat dia. Serta jangan pernah kau ulangi caramu itu.

Titik air mengenai paha Nino. Bukan air mata, namun sekiranya hujan akan mengguyur kota ini. Menenangkan pikiran Nino. ”ayo ke dalam. Sudahi dulu lamunanmu itu. Aku tak ingin repot jika kau sakit esok pagi.” Andi sudah mulai bernajak di ikuti Nino di belakangnya.

Pagi buta Nino sudah bersiap untuk kembali ke Jakrata. Taksi yang berada di depan rumah, tak dimatikan mesinnya. Nino berpamitan kepada Andi yang masih setengah sadar dalam lelapnya.

Jalan ke bandara yang sepi dan lengang membuat kenangan kembnali muncul dalam benak. Suara tawa Fafa menjadi sebuah semangat untuk segera kembali lagi ke kota ini. Menjadi semangat Nino untuk bekerja lebih giat agar bisa segera melamar Fafa. Namun, kali ini terasa dingin. Kebahagiaan tidak di ukur dari seberapa banyak harta yang dimiliki.

Andi terbangun ketika bel di rumah berdentang bebrapa kali menandakan ada tamu yang datang. “ Sepagi ini, tumben tukang sampah sudah datang?” gumam Andi beranjak dari peraduannya. Dibukanya pintu, sosok perempuan berdiri di depannya. Berusaha melihat jelas wajah yang terkena backlight oleh sinar matahari.

”Fafa…? kayaknya Nino tadi sudah berangkat deh.” Andi keheranan.

”Tidak mas, aku ingin ketemu mas Andi. Ada yang perlu aku obrolkan.”

”Wah, ada apa ini? Sebentar aku cuci muka. Fafa duduk dulu.”

“Jangan Cuma cuci muka mas, mandi sekalian. Kita cari sarapan yuk!” ajak Fafa.

“Oke.. aku mandi dulu.”

Tak berapa lama, mereka berdua sudah duduk di warung bubur ayam. Fafa tak begitu memperdulikan bubur yang ada di depannya. Raut mukanya menahan kesedihan. Diceritakannya kepada Andi tentang pertemuan Nino dengan orang tua-nya. Andi mendengarkan sembari sesekali memnyendok buburnya.

Perjuangan Fafa untuk memperkenalkan siapa Nino kepada orang tuanya telah sampai puncaknya. Keinginan Fafa sudah bulat untuk melepaskan Nino dari dalam kehidupannya. Mengingat pengkhianatan kesetiaan Nino terhadap dirinya, menyulut kebencian yang membakar cinta dan kasih sayang yang dimilikinya.

Suapan bubur ke dalam mulut Andi terhenti demi mendengar cerita Fafa mengenai Nino yang mendua. Tak banyak wanita yang bisa menerima jika orang yang dia sayang ternyata membagi kasih dengan orang lain. ”Siapa yang bilang Nino mendua?” tanya Andi. Fafa mempermainkan sendok yang dia pegang. ”Mas Nino sendiri yang bilang. Beberpa bulan yang lalu dia ceritakan semua padaku.” jawab Fafa.

Andi berusaha tidak terkejut dengan jawaban Fafa tersebut. Namun, raut muka Andi tidak bisa menutupi hal itu. Sendok bubur dia telungkupkan pertanda selesai. Kali ini dia memperhatikan sungguh-sungguh seluruh kalimat dari mulut Fafa. ”Seorang gadis relasi kerjanya telah menawan hatinya. Memanglah ayah perempuan itu tidak seperti ayahku. Akupun jauh kalah cantik daripada perempuan itu.” Fafa mengambil gelas minumnya dan meneguk isinya sedikit.

”Mas Nino berhak mendapatkan yang lebih daripada aku. Kami dulu kenal hanya dari dunia maya. Salahku kala itu mengiyakan untuk berbagi kasih dengan mas Nino kala itu. Aku bukan siapa-siapa, kami juga sebenarnya mengenal dalam kurun waktu yang belum lama.” gurat putus asa nampak di raut muka Fafa.

Andi mencoba tersenyum menghibur Fafa. ”Janganlah kenangan menjadi penyesalan. Jalan hidup manusia itu berbeda. Jika engkau membandingkan atau merasa tertandingi, hingga ujung langit tak akan ada jawabannya.” Sorot mata Andi menunjukkan keseriusan dalam berkata. ”Fafa, aku yakin kau dan Nino telah memutuskan ini dengan hati. Coba engkau tanya nuranimu sekali lagi. Atas dasar apa engkau menyanyangi Nino. Dan pastinya, engkau mempunyai nilai lebih di mata Nino jika dibandingkan dengan perempuan-perempuan lain di muka bumi ini.”

”Bulat tekad saya, Mas Andi. Saya sudahi saja hubngan ini sampai disini.” ujar Fafa. Andi hanya tersenyum. Tidak mengiyakan, tidak pula mencegah Fafa mengambil keputusan itu. Setiap manusia mempunyai alasan sendiri-sendiri dalam menentukan jalan hidupnya.

Waktu terus berjalan, perubahan senantiasa hadir. Fafa telah menjadi seorang dokter muda yang mengabdikan dirinya di daerah terpencil di pedalaman Sumatra. Sedangkan Nino, tak lagi ada kabarnya. Seluruh kontak komunikasinya tak lagi dapat di hubungi. Email tak berbalas, nomor telepon sudah tak bisa lagi di hubungi, chating maupun semua jejaring sosial di dunia maya tak pernah ada tampak ada kehidupan.

Fafa sungguh menikmati kesibukannya sekarang ini. Ilmu yang didapat ketika di bangku kuliah diterpakannya di daerah tersebut. Sebuah kebahagiaan bisa berguna bagi orang lain. Membantu umat manusia yang dalam kesulitan. Imbalan dari semua yang dia lakukan, membantu dirinya melupakan hiruk pikuk jogja dengan semua kenangan yang pernah ada. Seringkali Fafa bercerita melaui telepon kepada Andi mengenai kehidupannya disana. Andi selalu bersemangat dan memberikan respon hangat atas semua cerita Fafa. Tak disadari, ada perasaan manusiawi yang muncul di hati Fafa. Perasaan nyaman dan tak ingin kehilangan seorang Andi.

”Eh mas, aku minggu depan dapat cuti lho. Aku akan pulang ke jogja akhir pekan ini.” Fafa mengabari Andi dengan penuh semangat. Andi menyambut gembira kabar tersebut. Seperti biasa, lelucon yang kadang tak masuk akal dia kemukakan untuk menyambut kedatangan Fafa. Misalnya, akan disiapkannya kereta untuk menjemput Fafa di bandara, didatangkannya rebana di ruang tunggu, atau akan diadakan syukuran serta pertunjukan wayang orang di galerinya jika Fafa sudah tiba di jogja.

Canda tawa mereka harus terhenti oleh bel pintu rumah Fafa yang berdering. Di depan pintu seorang wanita paruh baya terbaring di atas tandu yang di usung oleh beberpa pemuda. ”Maaf Bu dokter, tahulah kami Ibu sedang istirahat. Namun, mamak tiba-tiba pingsan dan tak sadar sudah hampir satu jam. Khawatir kami akan terjadi hal buruk. Tolonglah ibu periksa dia” salah seorang dari pemuda itu menunduk sangat sopan, memohon kepada Fafa untuk memeriksa ibunya.

Tak banyak kata, Fafa minta wanita yang di atas tandu itu segera dibawa ke ruang periksa. Dilihatnya seluruh badan wanita itu. Matanya tertuju kepada kaki yang dibungkus kain sangat tebal. Dibukanya, dan alangkah terkejutnya. Luka yang cukup lebar telah bernanah. Dengan cekatan Fafa membersihkan luka tersebut serta mengobati infeksinya. Ditunggunya hingga pasien sadar dan diperbolehkannya pulang setelah memberikan beberapa macam obat.

Akhir pekan telah tiba. Pesawat mendarat di bandara adisucipto ketika matahari beranjak tepat di atas kepala. Andi berdandan lebih rapi daripada ketika dahulu terkahir kali Fafa menemuinya. Tidak ada kereta kencana atau grup musik rebana. Di seberang Andi, orang tua Fafa bersiap memeluk anaknya. Andi hanya terpaku tak bernjak dari tempat berdirinya. Setelah peluk cium kepada Ayah dan Bundanya, Fafa berlari kecil ke arah Andi dan menyalaminya. ”Masih pakai motor butut itu kau, bang?” tanya Fafa. ”Bah, macam mana pula kau sudah berganti logat batak?” gelak tawa kembali hadir di ruang tunggu bandara tersebut.

Seluruh barang Fafa telah masuk ke bagasi mobil ayahnya. Sedangkan Fafa, lebih memilih menikmati udara jogja di belakang punggung Andi di atas motor bututnya. Fafa ingin ke tempat-tempat dimana dahulu dia sering menghabiskan waktu di jogja. Dari selokan mataram hingga hampir mendekati dataran kaliurang.

Erat tangan Fafa memeluk pinggang Andi. Daerah Istimewa Yogyakarta sore ini benar-benar istimewa bagi Fafa. Selain tempat-tempat yang ingin ia kunjungi, Andi mengajaknya ke beberpa tempat yang belum pernah ia jamah pula. Turun ke perumahan di Kali Code, nongkrong di taman budaya, hingga ditegur satpam gara-gara iseng naik ke salah satu lantai atas sebuah hotel hanya untuk melihat kerlap-kerlip lampu di jogja.

”Terima kasih mas andi, udah nganter aku jalan-jalan melepas rindu dengan jogja.” celoteh Fafa ketika malam itu di antar sampai di depan pintu rumuahnya. ”Oke Fa…, sampai jumpa esok ya.” Andi sudah menghidupkan kembali motornya kemudian melaju meninggalkan Fafa di depan rumah.

Hampir setiap hari Fafa dan Andi berjalan bersama. Entah itu yang hanya jalan-jalan di pusat pertokoan atau menemui beberpa teman Fafa. Andi dengan sabar mengikuti kemana kemauan Fafa.

”Kapan engkau kembali ke tanah Andalas?” tanya Andi kepada Fafa suatu malam ketika menikmati kopi di sebuah warung dekat stasiun tugu. ”ehmm.. masih dua atau tiga hari lagi. Kenapa memangnya?” Fafa masih asyik dengan arang yang ada di dalam gelas kopinya.

”Ihh…, mas Andi gak pingin ditinggal Fafa ya? Ngaku aja deh…!” disambut tawa Fafa. Andi hanya tersenyum sembari mangacak-acak rambut Fafa. Tak terlihat lagi semburat kerinduan Fafa kepada sosok Nino. Sebuah kebahagiaan bagi diri Andi bisa membuat orang lain tertawa, bahagia.

Telepon genggam Fafa bergetar, “Ada telepon itu, diangkat dulu!” seloroh Andi. Fafa melihat nomor yang tertera, “Enggak ah, aku gak kenal nomornya.” Kata Fafa.

“Eh jangan begitu, siapa tahu itu penting.” Andi memaksa Fafa untuk menerima panggilan telepon tersebut.

“Hallo…, ya saya sendiri.” Fafa menjawab telepon tersebut. Kemudian banyak sekali istilah-istilah dalam kedokteran yang dia ucapkan. Tentu saja Andi hanya melongo mendegarnya. Di kedokteran ada stetoskop, di galeri mungkin sama fungsinya dengan kuas cat, pikirnya. Ada istilah obgyn, mungkin sama dengan croping. Pikiran Andi bermain sendiri dengan imajinasi seorang seniman.

”Kenapa Fa? Ada yang sakit?” tanya Andi. Fafa memasukkan lagi telepon genggamnya ke tas kecil. ”iya…, pasien beberpa waktu lalu kena infeksi. Sudah aku rujuk ke Rumah sakit, tapi, dia tidak mau. Ini tadi anaknya telepon. aku bilang dua hari lagi aku sudah tiba di sana.” Jawab Fafa.

Begitulah tugas seorang dokter. 24 jam harus siap sedia. Bahkan ketika berliburpun harus tetap siaga. Masyarakat terkadang melihat dokter adalah sosok yang sempurna. Di sisi lain, dokter adalah manusia juga. Manusia yang punya rasa lelah, perasaan, juga ketidak-mampuan menghadapi beberapa hal.

Gerimis turun di tanah jogja. Motor butut itu dipacu dengan kecepatan di atas rata-rata biasanya. Asap mengepul dari ujung knalpot. Fafa berpegangan erat ke pinggang Andi. Ternyata motor butut ini masih bisa melaju diatas kecepatan 60 km/jam, meskipun meninggalkan bekas jalanan yang seperti habis di fogging.

Meninggalkan rumah Fafa dalam hujan yang tak kunjung reda. Meski hanya rintik-rintik namun cukup mengganggu pandangan Andi. Memasuki gang masuk ke rumahnya, sekilas dia jumpai sosok yang dia kenal dari cara jalannya. Namun, dia tak peduli. Cepat sampai rumah dan ganti baju.

Treeet…. belum sempat Andi menuju kamar, bel rumah sudah berbunyi. ”Ya.. sebentar. Siapa ya?” teriak Andi sembari berjalan ke pintu depan dengan baju yang masih basah. Terkejut tidak menyangka, demi melihat sosok yang berdiri di depan pintu.

”Nino…, darimana saja kamu?” Andi masih terpaku. Nino tersenyum sambil pandangannya melongok ke dalam. ”Oh iya…, masuk dulu. Aku ganti baju. Kamu mau ganti baju juga ndak?” lanjut Andi.

Tak ada angin tak ada Hujan, tak ada sedikitpun tersiar kabar, tiba-tiba lelaki itu sudah berada di Jogja lagi. Hampir setahun tak ada beritanya semenjak pertemuannya dengan orang tua Fafa kala itu. Andi duduk di balkon sembari menikmati hujan rintik yang hampir reda. Nino menyusulnya sambil membawa dua kaleng minuman.

”Monyet.., darimana saja kamu? Nomor tak ada yang aktif. Email juga tak pernah kau balas.” semprot Andi. Nino nyengir kuda. ”Sebisa mungkin aku menghindari dunia maya, An. Dari situ ada hati yang terbawa dan kemudian terkoyak.” Jawab Nino.

”Tapi ya nomor telepon jangan ganti dong. Atau paling tidak kasih tahu kita-kita. Aku tanya ke Fafa, katanya sudah hampir setahun ini tak ada kontak darimu. Aku pikir, sudah mati kamu. Kapan-kapan kalau aku ke Jakarta rencananya akan aku cari makam kamu.” Andi menyerocos. Nino hanya tertawa.

”Bagaimana kabar Fafa, An?” tanya Nino.

”Baik..”

“Cuma begitu doang?” Nino tidak puas dengan jawaban Andi.

”Udah deh, ini kamu telepon sendiri dia. Tapi ingat, kalau Cuma iseng bertanya kabar mending jangan kau usik dia lagi.” Andi menyodorkan telepon genggamnya. Nino menolak telepon Andi. ”Ini telepon aku taruh di meja. Terserah, kau akan meneleponnya atau tidak. Nomor telepon dia masih ada di recent history. Kamu tinggal pencet. Tapi, jangan lupa isi pulsa ya.” Andi ngeloyor pergi sembari tertawa.

”Hweh.. mau kemana, An?”

”Ya kerjalah, Bego..!” teriak Andi.

Matahari sudah menyinari jidat Andi yang terkapar di ruang kerjanya. Hampir semalam dia tak tidur menyelesaikan desain. Dia tak mendengar bel rumah berbunyi. Terpaksa, Nino yang membuka pintu.

Dua manusia berdiri terpaku di pintu tersebut. Seperti melihat hantu, setan, algojo atau apa saja yang sekiranya menakutkan. Pancar mata kerinduan berpendar. Namun, tak satupun berani mengambil sikap untuk melepaskan hasrat tersebut.

”Mas Nino..” tangan perempuan itu berpegangan pada tali tas yang melintang di dadanya. Nino terdiam. Masih tetap memegang pintu.

”Fafa… darimana kau sepagi ini?” Nino spontan melontarkan kalimat itu. Raut muka Fafa berubah. Tiba-tiba api kebencian menyulut sekam yang tertimbun.

”Apa peduli mas Nino? Dimana mas Andi? Mas Andi…! anterin Fafa beli tiket dong…! Fafa berteriak sambil menerobos masuk ke rumah. Sontak Andi yang sedang menikmati buaian mimpi dan sinar matahari, gelagapan. Langsung berdiri dan pasang kuda-kuda siap menyerang lawan dengan jurus silatnya.

Melihat kelakuan Andi, dua orang yang sedang rindu namun bersiteru itu pun terbahak-bahak. Tawa yang lama sekali dirindu. Renyahnya tawa Fafa dan lucu suara tawa Nino.

”Hwaduh Fa, aku baru aja tidur tadi sehabis adzan Subuh. Anter Nino aja ya. Lagipula, dia baru tadi malam sampai jogja. Ajak dia putar-putar kota. Oke?” suara Andi malas-malasan.

”Apa? Aku sama mas Nino? Mas Andi gak salah ngomong tuh? Gila aja… aku pergi dengan hantu yang datang dan pergi sesuka hatinya ini?” tatapan mata Fafa nanar memandang sosok Nino yang dari tadi berdiri di belakangnya. Tak disadari ketika Fafa menoleh ke arah Nino, Andi sudah kembali terlentang di lantai. Meneruskan tidurnya. ”Mas Andi…!” teriak Fafa.

”Fa, jangan kau ganggu dia. Kasihan…” Nino coba meraih tangan Fafa.

”Hey… apa-apa’an ini. Siapa kamu? Berani-beraninya memegang tanganku…!!!

”Okay..okay… aku salah kepadamu. Tapi jangan kau bawa-bawa temanku itu. Dia orang baik. Jangan kau ganggu. Jika memang dia sudah berjanji menemanimu, aku sanggup menjadi budakmu untuk menggantikan dia menemanimu.” Nino berusaha berkata-kata dengan nada yang halus.

”Baik…, antarkan aku beli tiket. Kemudian bawa aku foto-foto di kali code, makan di alun-alun, nongkrong di tempat romo Sindhu. Bisa?” Fafa masih dengan nada tinggi. Nino garuk-garuk kepala, “Itu tempatnya dimana?” Fafa berjalan ke arah Andi dan jongkok di samping tubuh yang lunglai itu. “Mas Andi…!!!”

Nino secepat kilat berganti pakaian dan kembali sudah berada di hadapan Fafa. Tak tega melihat kawannya yang tidur seperti orang pingsan terganggu oleh suara nyaring Fafa. Selain itu, terbersit pula keinginan Nino untuk sejenak bernostalgia di kota yogyakarta. Bersama Fafa pula, sebuah kesempatan yang tak datang dua kali.

Fafa menuju pintu kemudi mobilnya. Nino mengejarny, ”Fa, aku saja yang setir.” Fafa memberikan kunci mobilnya, ”Tapi, sebelum mobil dimasukkan garasi, motornya itu dikeluar’in dulu, mas. Nanti gak ada jalan buat keluar kalau mobilnya sudah masuk.” Fafa menjelaskan.

”Hlah…, kita naik motor?” tanya Nino.

”Emang mas Nino pikir gimana? Ngapain juga aku kesini kalau Cuma mau beli tiket. Mendingan langsung dari rumah ke bandara.” Fafa masih dengan nada sewot. Nino terdiam di belakang kemudi. Fafa yang tidak sabar, masuk ke pintu rumah lagi dan berteriak, ”Mas Andi…!!!”

Nino susah payah mengeluarkan motor butut Andi. Kemudian memasukkan mobil ke garasi yang sempit. Butuh ketenangan, kesabaran dan perasaan untuk menghidupkan motor butut si Andi. Hampir setengah jam, barulah motor itu hidup dengan diawali kepulan asap membumbung ke udara.

Perjalanan mengarah ke bandara. Belum juga sampai di jalan utama menuju bandara, tiba-tiba Fafa minta untuk di antar dulu ke Kali Code. Saat sinar matahari bagus, adalah saat yang tepat untuk mengambil gambar.

Di kali code, Nino berperan sebagai Fotografer dadakan. Logat Jakarta Nino dipaksakan memakai bahasa jawa, amburadul. Menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat Kali Code.

Frame demi frame di dapat. Dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk Nino menyimpan file ketimbang ketika memilih angle. Sebab, ketika proses menyimpan file, Nino sejenak menikmati senyum Fafa di layar LCD. Senyum manis yang sangat berbeda sekali dari pagi tadi. Tak disadarinya, mengembang pula senyum Nino.

“Hey… ngapain? Pose kayak gini juga capek tahu! Pakai senyum-senyum lagi lihat foto Fafa. Apa..? Suka sama Fafa? Naksir?” Semprot Fafa ketika Nino kelamaan. Tentu saja Nino jadi gugup. Melihat hal itu, Fafa tersenyum dalam hati. Ada sisi jenaka juga dalam diri Nino.

Selesai di kali code, motor butut dengan knalpot fogging meluncur ke wilayah alun-alun. Nino tengok kiri dan kanan, tak ditemuinya warung makan.

”Hey… berhenti! Lapar ini pingin makan.” teriak Fafa.

”Mana warung makannya, Yang…?” Nino rem mendadak. Tak ayal lagi, semprotan Fafa semakin deras. ”Idih…, Sok banget Mas Nino ini! Yang…, Siapa itu Yang? Ngigau kali ini orang! Mana rem mendadak lagi. Biar Fafa kejedot punggung Mas Nino gitu? Sorry ya, Fafa gak bisa di iseng’in kayak gitu!” Fafa turn dari motor kemudian berjalan ke warung angkringan yang dikerumuni banyak sekali orang-orang dengan pakaian aneh dan mayoritas berambut gondrong.

Nino menepikan motor, kemudian mengejar Fafa. ”Fa…, apa sih kamu. Apapun yang aku lakukan semua salah di mata kamu. Nggak salah nih, kita makan di situ? Nino menghadang langkah Fafa.

”Ehh…, siapa tadi yang sanggup menjadi budak menggantikan mas Andi? Jangan ’GR’ ya. Aku makan sendiri. Bukan kita. Minggir ahh…!” Fafa meneruskan jalannya. Nino hanya mampu melihat kibasan tas Fafa yang dia taruh di belakang punggungnya, tanpa mampu berkata apapun.

”Daripada seharian makan hati, mending aku tinggalkan saja perempuan itu. Biarkan saja di alun-alun ini sendiri. Biar tahu rasa.” Nino berkata dalam hati. Motor butut itu tak juga menyala. Malah suaranya setiap di stater dan gagal membuat bising.

“Mau kemana, Mas?” tiba-tiba seorang lelaki menghampiri Nino.

”Pulang mas.”

”Iya, mau pulang kemana?” tanya lelaki itu lagi.

”eeng… mana ya itu alamatnya. pokoknya deket UGM.” Nino masih berusaha menghidupkan motor itu. Lelaki yang bertanya tadi pergi, tapi tak lama kemudian dia kembali bersama beberapa orang.

”Mas…, sampeyan terus terang saja, daripada kami main paksa. Kamu nyuri motor ya?” salah seorang dari yang datang itu sudah memegang bahu Nino. Nino bingung. ”Tidak pak, ini motor teman saya. Betul, saya tidak bohong.” Nino berusaha tidak terlihat gugup.

”Lha yang punya ini dimana? Kok sampeyan yang bawa.”

”Dia tidur di rumah. Tadi saya mengantarkan perempuan teman saya. Saya menggantikan dia yang kelihatannya kurang tidur semalam.” jawab Nino.

”Lha terus, yang sampeyan antarkan mana? Jangan bohong lho. Lha wong nyatanya tadi sampeyan mau pergi sendirian gitu lho.” salah seorang lelaki sudah berdiri di depan motor persis, sambil memegang telepon genggam.

”Pakdhe Abah…, ini Andi tak telpon gak di angkat jew. Jangan-jangan dia pingsan?” Kata lelaki itu ke temannya. ”Terang saja tidak di angkat. Tadi malam telepon Andi diletakkan di ruang tengah. Sedangkan kini Andi tidur di ruang kerjanya.” Batin Nino.

Perasaan Nino mulai tidak enak. ”Mas-mas sekalian, saya ini temannya Andi beneran. Saya nggak bohong.” Nino berusaha meyakinkan.

”Ya sudah, coba sampeyan telepon Andi. Untuk membuktikan bahwa sampeyan memang teman dia.” lelaki yang kelihatannya paling tua, memberikan solusi. Nino membuka ponselnya. Tapi apa yang terjadi, dia tak menemukan nomer Andi di Phone Book-nya. ”Mampus…” Batin Nino.

”Mas-mas semua, perlu saya jelaskan, saya ini teman Andi dari Jakarta…” belum sempat Nino menyelesaikan omongannya sudah di potong oleh lelaki yang berdiri di depannya, ”Hwesh.. cepetan telepon Andi! Gak punya pulsa? Berapa Nomermu, tak kirimi pulsa. Atau emang gak punya duit? Terus akhirnya kamu nyuri motor ini…!”

Nino turun dari motor, siap-siap mengepalkan tangan. Salah seorang dari teman-teman Andi itu memegang Nino dari belakang. Sedangkan yang di sebut Pakdhe Abah yang terlihat bijaksana tadi, mundur beberpa langkah. Dan lelaki yang berdiri di depan motor sudah melotot di depan nino, ”Apa..? kamu ngajak berantem? Sudah salah, ngeyel…!

Dari kejauhan Fafa dan beberapa lelaki gondrong berlarian ke arah Nino. Lelaki-lelaki itu cepat-cepat memegang tangan si pemuda yang melotot di depan Nino. Fafa yang datangnya belakangan malah tertawa cekikikan.

Wis Dab…, ini pacarku kok. Dia tadi ngambek gak mau tak ajak makan di angkringan.” Fafa menjelaskan.

”Lho, katanya dia tadi mengantar temannya kok, bukan pacarnya.” si Pakdhe bingung. Lelaki-lelaki gondrong itu mulai melepaskan semua pegangan. Baik di tangan Nino maupun dari tangan si pemuda yang melotot tadi.

”Iya..iya.., ini kita Cuma salah paham. Ini temannya Andi juga. Beneran… saya minta maaf kalau tadi sempat bersitegang. Ini namananya Mas Nino. Dia dari jakarta.” Fafa memegang bahu Nino, meskipun agak kesulitan karena postur Nino yang tinggi.

”Ohh.., ini Nino yang katanya Andi hilang itu tho? Mbok ya bilang dari tadi kalau nama sampeyan Nino.” nada suara Pakdhe Abah kembali terdengar bijak. Nino sudah mulai bisa tersenyum. Dia mengulurkan tangan. Bersalaman sembari minta maaf.

Setelah bersalaman dengan seluruh teman Andi disitu, Fafa mengajak Nino segera pamit saja dari alun-alun. Kali ini tak ada kesulitan menghidupkan motor butut itu. Sebab, Pakdhe abah membantu Men-stater motor itu. Asap tebal mengepul mengiringi kepergian Fafa dan Nino dari tempat itu.

Memasuki daerah Mijil, diman terdapat banyak warung gudeg, Fafa mengajak Nino menepi. ”Mas Nino belum makan kan? Ayo kita mampir dulu makan. Aku juga masih lapar.” Nino seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Menurut saja dengan ajakan Fafa tersebut.

Seporsi besar gudeg mijil Nino habiskan kurang dari 15 menit. Fafa tersenyum, ”Dari kemarin Mas Nino nggak makan ya?” Nino nyegir kuda. Dan memesan seporsi lagi. Selesai makan, Nino merogoh dompet dan memanggil pelayan.

”Jangan buru-buru mas…, biar pencernaan mas bekerja dulu.” Fafa menahan Nino dan meminta pelayan kembali lagi nanti. ”Ada apa mas Nino kembali ke jogja ini?” tanya Fafa. Nino terdiam, menunduk dan menggapai gelas minumannya. Tapi, tangan Fafa lebih cekatan mengambil gelas tersebut.

”Jawab dulu mas, jangan mengalihkan perhatian…” sembari meyodorkan gelas ke arah Nino.

”Aku rindu padamu. Aku dengar kabar dari temanku, engkau ada di pedalaman sumatra. Aku kira, aku bisa melepas rindu di jogja ini tanpa ada kehadiranmu. Ternyata, pagi ini engkau muncul di pintu. Tak kusangkal, itu merupakan harapanku juga.” Nino menerima gelas pemberian Fafa.

”Mengapa mas menghindar, padahal itu yang diinginkan. Hadapi sajalah. Perlu kesabaran pula.” Fafa meraih tangan Nino yang mendekap gelas.

”Aku tak punya kekuatan, Fa. Masih ingat ketika aku bertemu dengan orang tuamu? Apa yang harus aku perbuat untuk merayu hati mereka?”

”Kesabaran..” jawab Fafa.

”Kesabaran yang seperti gimana lagi..?”

“Seperti kejadian ini tadi misalnya. Karena emosi mas Nino yang sesaat, hasrat sekejap, hampir saja mas Nino di hakimi massa.”. Fafa memberikan contoh.

Pagi ini kesabaran Nino benar-benar di uji. Berawal dari teriakan-teriakan Fafa ketika Andi tidak bisa menemani beli tiket, memasukkan mobil, mengantarkan Fafa ke kali code, dan puncaknya ketika di alun-alun. Nino belum bisa memandang kehidupan Fafa dari sisi lain. Ada sisi Fafa yang belum dipahami Nino.

“Cobalah tadi mas Nino menunggu sejenak di atas motor. Tanpa berusaha untuk meninggalkan Fafa di alun-alun itu. Benar disana ada teman-teman mas Andi, tapi disana Fafa sendiri. Meskipun mas Nino tidak ikut makan di angkringan, tapi cukup mas Nino masih dalam radius pandanganku, dan aku merasa diperhatikan mas Nino, itu cukup membuatku tenteram.” Fafa menjelaskan panjang lebar kepada Nino.

Meskipun berpisah, Hati Fafa masih senantiasa mencari sosok Nino dalam kehidupannya dengan tidak berusaha menggantinya. Menanti kabar di setiap dering telepon atau pesan singkat. Berharap ada inbox di email dari Nino. Menunggu pm di chat dari lelaki yang kini sedang ada di hadapannya.

Tidak muluk-muluk yang diharapkan Fafa. Pandangilah aku ketika terbang, dan peringatkan aku ketika sayap mengembang terlalu lebar. Waktu akan memberikan jawaban atas semua kesabaran atas dasar kasih sayang. Tidaklah mudah menyatukan dua keluarga yang tak saling mengenal.

Nino menghela nafas panjang. Dia pandangi wajah Fafa dalam-dalam. Tangan yang tadi mendekap gelas, kini sudah beralih meraih tangan Fafa. Namun, Fafa menghindar dan ganti dia yang mendekap tangan Nino.

”Mas Nino, bukan aku tak lagi sayang dengan mas. Tapi. Cobalah mas sadari apa yang telah mas lakukan padaku beberpa waktu terakhir ini. Sakit, mas. Tapi, tak bisa hatiku beralih.” Fafa mendekap hangat tangan Nino. Kemudian dia berdiri mengajak Nino untuk segera pergi dari tempat itu.

“Fafa, aku masih ingin bersamamu di kota ini. Aku harap engkau tidak segera kembali ke tanah andalas.” Ujar Nino kepada Fafa ketika berhenti di plengkung gading.

Rencana ke tempat romo sindhu di undur. Fafa mengajak Nino untuk pulang dulu ke tempat Andi. Ketika mereka pergi tadi pagi, Andi masih tidur. Di lantai pula. Jangan sampai dia sakit karena kedinginan.

Apa yang menjadi kecemasan Fafa terjadi. Andi masih terkapar di lantai dengan mulut menganga menikmati semilir angin dimana petang mulai datang. Nino menghampiri tubuh di lantai itu, “An.., bangun! Hari sudah berganti. tak lap[ar kau?” sedikit-demi sedikit mata Andi terbuka seperti orang yang sadar dari koma beberapa hari.

Setelah para lelaki itu mandi, Fafa mengajak Nino dan Andi makan malam di luar. Kali ini Andi menolak, “Maaf…, aku tak bisa ikut.” Fafa tampak kecewa. “Ya udah nanti kita bungkus buat mas Andi.” Usul Fafa. Andi tetap menolak, “Tidak usah, terima kasih. Aku nanti beli nasi goreng yang lewat saja.”

Motor butut sudah kembali ke garasi. Mobil Fafa juga sudah menderu keluar dari gang. Andi menuju balkon, menunggu rintik hujan membasahi bumi malam ini. Tak lama kemudian dia tertidur lagi. Bangun ketika mendengar teriakan Nino dri gerbang depan..

”Baru ditinggal berapa menit, sudah molor lagi. Ini dibungkusin masakan cina itu sama Fafa.” celoteh Nino ketika masuk gerbang sambil mmberikan bungkusan kepada Andi.

Karena terlambat memesan, tiket untuk akhir pekan jurusan sumatra sudah ludes habis. Terpaksa fafa mengundur keberangkatannya. Begitu pula Nino, dia menyesuaikan dengan hari libur Fafa. Tak ingin dia kehilangan moment sedetikpun dengan Fafa. Sebelum berpisah, Nino memberikan nomor telepon genggam dan nomor telepon rumahnya kepada Fafa dan Andi.

Jadwal keberangkatan mereka berbeda. Pagi ini Fafa di antarkan orang tuanya. Sedang siang harinya Nino diboncengkan Andi tetap dengan motor bututnya ke bandara.

”No.., jaga baik-baik Fafa itu, No. Bukan harta atau kekuasaan yang mampu meluluhkan hati ayahnya. Tapi ketulusan dan kesungguhanmu.” pesan Andi kepada Nino. ”Thank’s, Bro..”, jawab Nino sembari beranjak ke boarding pass.

Dalam hari yang sama, dua anak manusia ini mengalami kekecewaan yang hampir sama. Nino, gagal mendapatkan kontrak kerjasama sebab dia datang terlambat dalam penanda tanganan berkas-berkas. Fafa, dilanda kesedihan karena pasien infeksi yang pernah dia rawat beberapa hari lalu, meninggal dunia. Pasien tersebut tidak mau dirawat oleh dokter lain selain Fafa.

Dalam hati, Fafa menyalahkan dirinya yang terbuai nostalgia bersama Nino. Jika saat itu dia tidak ke kali code, peristiwa alun-alun, dan makan gudeg, pasti dia sudah mendapatkan tiket untuk pulang di akhir pekan. Dan pastinya dua hari yang dia janjikan kepada pasiennya dapat ditepati. Mungkin nyawa itu bisa tertolong.

Nino menyesali keputusannya menunda kepulangannya ke jakarta beberapa jam, hanya karena tidak ingin bertemu orang tua Fafa di bandara. Siang kala itu, adalah hari penentuan perjanjian kerjasama dengan beberpa perusahaan. Semua pimpinan hadir, kecuali Nino. Diwakilkan kepada bawahannya. Ternyata dalam pertemuan itu, selain pimpinan tidak boleh melakukan tanda tangan.

Cinta butuh pengorbanan. Tidak hanya materi. Namun juga hasrat hati, harapan, seluruh rencana tentang masa depan. Bahkan raga dan nyawa harus mampu dipersembahkan untuk sang tersayang.

Cinta memerlukan logika. Pemikiran yang matang dan pengalaman. Tidak hanya kepentingan pribadi yang diutamakan. Pemahaman kepada segala aspek sosial. Cinta buta, itulah hasrat yang terkendalikan oleh pikiran.

Cinta mengutamakan ketulusan. Jangan pernah mencinta jika tak sanggup kehilangan. Sebab, cinta tak bisa untuk selalu memiliki. Ujung dari segala macam omongan tentang hal itu adalah kebahagiaan. Tak banyak manusia yang bisa melepas cinta untuk bahagia tidak di sampingnya. Cinta yang akhirnya menyulut dendam.

Hati Fafa masih belum bisa memaafkan dirinya yang terlambat menyelamatkan nyawa manusia. Dihubunginya Andi, namun sampai beberapa hari tak ada tanda-tanda kehidupan. Ingin rasanya menghubungi Nino, tapi lelaki itu adalah sosok yang kali ini sangat tepat untuk dijadikan kambing hitam. Fafa menyerah. Hanya beberpa kalimat di email yang dia kirimkan kepada Andi intinya dia sangat kecewa atas keterlambatannya.

Sama halnya dengan Nino. Usaha untuk menghubungi Andi tak berhasil. Setiap hari, dia mengirim pesan singkat dan tak berbalas. Berbagai macam media komunikasi dia pakai. Telepon, internet, menghubugi kawan-kawan lama dia lakukan.

Sampai akhirnya, seminggu kemudian tak sengaja dia melihat sebuah informasi kecil di internet. Ditulis, Andi seorang seniman dari jogja hilang ketika sedang perjalanan ke Medan. Dikabarkan, rombongan yang malalui jalan darat keluar masuk hutan tersebut tidak diketahui keberadaannya hingga sekarang.

”Hallo…, Fafa. Sudah tahu kabar Andi?” seketika itu Nino menghubungi Fafa.

“Belum, seminggu ini aku mnghubunginya tapi tak ada balasan.”

”Kemungkinan dia berada di pulau Sumatra. Namun, dikabarkan rombongan Andi hilang ketika melakukan perjalanan ke Medan.”

”Hah…? Jangan macam-macam kau mas Nino!” Fafa kaget. Dan tak disadari ada uraian air mata mulai meleleh.

Fafa dan Nino baru menyadari jika saat itu mereka sedang kehilangan orang yang dia sayangi. Manusia yang dengan tulus menyayangi. Tak ada pamrih sedikitpun memberikan waktu, tenaga dan pikiran. Sosok yang selama ini menempati posisi hanya sebagai peran pembantu. Pelengkap kisah Fafa dan Nino.

Karena hilangnya Andi, jalinan komunikasi Fafa dan Nino semakin sering. Terkadang Fafa menceritakan bagaimana Andi mengajarinya tentang hidup saling menyayangi. Nino menimpalinya dengan cerita-cerita Andi mengenai bagaimana membentuk jiwa yang sabar untuk saling menghormati dan menghargai.

Lambat laun, sosok Andi mulai hilang dari perbincangan mereka. Jawa-Sumatra tak lagi jauh berjarak. Terkadang, Nino menemui Fafa di pedalaman Sumatra. Begitu pula fafa. Jika akhir pekan bisa mengambil cuti, dia datang ke Jakarta.

Bukan lagi kecemburuan dan kecurigaan yang sering menjadi bahan obrolan. Bagaimana menghadapi orang tua Fafa, adalah sesuatu yang lebih penting untuk dibahas. Nama Andi tak lagi penting untuk di ingat. Tetapi, apa yang dia sampaikan tetap membekas di ingatan Fafa dan Nino.

Di sebuah desa lereng gunung Lawu, bergerombol anak-anak kecil membawa buku tulis menuju sebuah pohon besar. Di bawah pohon tersebut, sudah menunggu seorang lelaki yang sedang sibuk menulis di papan tulis. Anak-anak itu, tanpa di beri aba-aba, langusng duduk dan mengamati tulisan lelaki itu dan berusaha menirunya di atas kertas buku tulisnya.

Sudah beberapa tahun lelaki ini menjadi guru anak-anak daerah pedalaman tersebut, tanpa memungut biaya sedikitpun. Hanya ketika musim panen tiba, banyak anak-anak tersebut membawa hasil dari ladang orang tua mereka untuk diberikan kepada sang guru tersebut.

Rumahnya yang sekadar berdinding kayu dan beralas tanah berisi banyak sekali buku-buku tentang pengetahuan dan cerita-cerita tentang kehidupan. Seorang perempuan yang senantiasa tersenyum ketika ada tamu, adalah istri dari sang pemilik rumah.

Siang itu, beberpa orang pendaki tersesat dan masuk ke wilayah desa tersebut. Salah seorang dari mereka berjalan tertatih-tatih. Sepertinya tulang kakinya retak. Oleh penduduk setempat. Pendaki itu diantarkan ke rumah guru tersebut. Perempuan yang jika menerima tamu tersenyum itu, berteriak kepada anaknya untuk memanggil ayahnya. Sang anak yang sedang bermain mengajak beberpa temannya berlarian ke arah pohon besar.

”Pak Aan…, pak Aan. Ada orang sakit di pondok.” teriak salah seorang anak.

”Iya… ayah. Ada orang naik gunung kakinya patah.”

Orang yang di panggil pak Aan tadi, segera meninggalkan anak-anak didiknya yang melongo melihat grunya tiba-tiba pergi. Dari kejauhan, sang guru itu berteriak, ”anak-anak pelajaran kita teruskan besok ya! Tolong bawakan papan tulis itu ke pondok.”

Pendaki yang sekarang sudah di tangan pak Aan merasa sangat mengenal wajah lelaki itu. Meskipun tertutup kumis dan jenggot, namun tatap mata lelaki itu sepertinya sangat dia kenal. Pendaki itu minta berfoto bersama pak Aan. Namun, pak Aan menolak secara halus. Dengan alasan, tidak biasa di foto. Dia malu.

Sore itu juga pak Aan mengantar rombongan pendaki tersebut ke kota solo untuk lebih intensif dirawat. Setelah mendapatkan bangsal, pak Aan kembali ke lereng gunung lawu.

Rasa penasaran pendaki tadi belum hilang. Dia minta kepada temannya untuk ke warnet mengambil salah satu foto yang pernah dikirimkan oleh pimpinan perusahaan kepadanya. Tentang orang hilang yang beberapa tahun ini dicari.

Setelah foto ada di tangan, pendaki yang terbaring itu menelepon ke pimpinannya, “Pak Nino, maaf, survey agak tersendat. Saya jatuh ketika melewati jurang dan tersesat.” Suara di seberang telepon terdengar bijak, “sekarang kamu dimana? Sudah dirawatkan?”

“Sudah pak, ini saya di rumah sakit di solo.” Jawab orang itu agak ketakutan. “Tapi, saya mendapatkan sesuatu yang mungkin selama ini bapak cari. Sebentar lagi saya kirim MMS kepada bapak. Namun, mungkin kurang begitu jelas. Ini mengambil gambar orang itu secara sembunyi-sembunyi.”

Tak lama kemudian, sudah terpampang wajah yang kurang begitu jelas di telepon genggam Nino, yang tak lain adalah suami Fafa dokter muda di pedalaman Sumatra. Saat itu juga, Nino minta sekretarisnya untuk memesan tiket ke solo serta booking segala macam akomodasi disana.

Fafa yang sekarang sudah tinggal di Jakarta dan tengah mengandung, terlihat begitu gembira demi mendengar kabar dari suaminya. Kabar telah diketemukannya Andi. Manusia aneh yang hilang beberapa tahun ini.

Pagi ini, Nino dan Fafa sudah melaju menuju lereng gunung lawu. Jalan terjal berbatu dilewatinya sangat pelan. Mengingat istrinya tengah mengandung, dia tak berani sembarangan membawa mobil.

Salah seorang pendaki yang kemarin ikut dalam survey turun terlbeih dahulu. Mengucap salam ke dalam rumah kayu yang cukup besar di antara rumah-rumah sekitarnya. Tak lama dia keluar ditemani seorang perempuan ramah dan anaknya.

”Maaf, bapak darimana? Ada apa ingin bertemu suami saya?” tanya sang perempuan tadi.

”Kami dari Jakarta, hanya ingin berucap terima kasih karena kemarin telah menolong salah satu karyawan saya.” jawab Nino diplomatis.

”Ohh…, Pak Aan sedang mengajar di pohon besar di atas sana. Tapi maaf, beliau biasanya tidak ingin diganggu.” jawab wanita itu sopan.

Nino melihat pohon besar yang tertutup rumah-rumah penduduk. Seketika itu dia berlari ke arah pohon. Namun, terhenti mendengar teriakan Fafa. Fafa turun dari mobil, ”Mas Nino jangan gegabah. Ingat kejadian di alun-alun waktu dulu itu? Disini, Mas nanti dikeroyok warga karane mangganggu ketentraman keluarga lho.”

Nino mengurungkan niatnya. Raut wajah istri Pak Aan mulai terlihat khawatir.

”Baiklah, kami menunggu disini saja.” ujar Nino. ”Maaf, saya bisa numpang ke kamar mandi?”

Istri pak aan mempersilahkan tamunya masuk rumah. Dan mengantarkan Nino ke kamar mandi di belakang rumah. Setelah istri pak Aan kembali ke depan, seketika itu Nino berlari lewat ladang belakng rumah menuju pohon besar yang ditunjukkan tadi.

Sejenak dia terpaku melihat seorang lelaki yang sedang mengajar dengan peralatan yang sangat sederhana. Sadar ada yang mengamatinya, sang guru meletakkan alat tulisnya dan tergesa meningglkan tempat itu menghindari Nino yang masih terpaku.

”Andi…!!! monyet, mau kemana Lu…! teriak Nino. Anak-anak yang tadi tenang, kini berhamburan. Nino mengejar Andi yang semakin mempercepat langkahnya. Nino menubruk tubuh lelaki berjenggot itu.

”An…, ini gue. Nino!” Nino tidak melepaskan tindihannya.

”Bangsat, siap yang memberitahumu aku disini?” Pak Aan alias Andi tersebut mulai angkat bicara.

”Salah satu karyawanku kau tolong kemarin. Dia yang mengabariku jika orang yang bertahun-tahun ini kucari ada disini” Jawab Nino.

”Arrgh… itu yang tak aku suka dari para pendatang. Mengganggu ketentraman saja.” Andi meronta dan berhasil lepas dari tindihan Nino. Kemudian membersihkan kotoran di tubuhnya.

Dari kejauhan, warga desa berbondong-bondong menampakkan raut muka yang penuh amarah. Di belakangnya, tampak anak-anak kecil yang berlindung ketakutan.

”Tenang..tenang bapak-bapak…” Andi menyambut para warga tersebut.

”Ada apa ini Pak Aan. Anak-anak bilang, bapak diserang orang asing.”

”Tidak bapak-bapak. Pak Nino ini salah satu penyumbang dana pendidikan untuk kita disini.” Andi asal bicara saja. Sedang Nino melongo tak paham kenapa dirinya disebut sebagai penyumbang dana. ”Masih tetap asal saja si Andi ini.” batin Nino.

Berita tentang keributan itu sampai di pondok. Istri Andi tampak menahan amarah. Fafa terdiam. Pendaki di luar sibuk dengan telepon genggamnya yang tak ada sinyal operator.

Fafa mendekat ke istri Andi, ”Ibu, jika benar suami anda adalah orang yang kami cari, alangkah bahagianya kami. Karena beliau kami bisa seperti ini. Ketulusannya menjadi semangat kami untuk mempertahankan cinta saya dan mas Nino.” Fafa berusaha meraih tangan perempuan tersebut.

”Saya sudah muak dengan seluruh sandiwara mas Andi. Apakah anda juga salah seorang perempuan yang menjadi korban bibir manisnya? Anda dulu juga tinggal di jogja kah?” tak disangka istri Andi yang ramah serta murah senyum itu menanggapi seperti itu.

”Tidak, mas Andi orang baik. Saya tidak ada apa-apa dengan dia.’ Jelas Fafa.

”Ahh… pasti anda dulu salah satu mantan pacar dia. Ketika di jogja dahulu banyak wanita yang dikenalkan mas Andi kepada saya sebagai rekan kerja. Ternyata, mereka adalah mantan-mantan kekasihnya.” Istri Andi masih sewot.

Andi dan Nino sudah sampai di depan pintu. Istri Andi masuk ke ruang dalam. Andi mengejarnya. Terdengar suara tetabuhan dari alat-alat dapur. Namun, ini bukan performing art, dan pastinya itu adalah ekspresi kemarahan istri Andi.

Ruang tamu pondok terasa panas. Padahal udara pegununngan ini sangat dingin.

”Fafa… Nino, ada rasa senangku kalian ke tempatku. Namun, sebenarnya aku lebih suka tak ada orang-orang dari jaman dahulu yang mengenalku lagi.” Andi duduk di samping istrinya yang kali ini lebih terlihat tenang.

”Aku akui, banyak sekali perempuan yang berharap aku selalu ada untuknya. Memberikan petuah tentang ikhlas, sabar, tulus, mengutamakan kasih sayang dan lain sebagainya. Namun, aku punya kekasih yang selama ini tak pernah dikenal teman-temanku.” tambah Andi lagi. Fafa terkejut. Selama dia mengenal Andi, tak seorangpun perempuan pernah ada di sampingnya. Andi yang selalu hidup degan kesendirian. Asyik dengan dunianya sendiri.

”Sehari setelah kepergian kalian, Ina, yang sekarang menjadi istriku ini datang ke rumah. Padahal, selama ini aku larang dia untuk datang. Jika ada perlu denganku, aku yang akan datang kepadanya. Dia ingin mengenal teman-temanku.” Andi menatap istrinya yang berangsur-angsur kembali menampakkan wajah ramah.

Masih ada di ingatan Ina tentang seluruh wanita yang pernah dikenalkan Andi kepadanya. Setelah kenal lebih lanjut, ternyata mereka adalah para mantan Andi. Memang mereka sekarang hanya berteman. Namun, perempuan-perempuan itu masih saja berharap ketika mereka jatuh, Andi selalu ada untuk mereka.

Pernah Andi menanyakan, ”Apakah salah jika aku menolong mereka? Aku tulus tidak ada maksud apa-apa. Meskipun mereka mantan-mantanku, aku tak berhatrap mereka kembali bersamaku.” Tentu saja tidak salah saling tolong menolong. Namun, perlu dilihat situasi, kondisi, dan posisi.

Akan menjadi sangat salah, jika orang-orang yang ditolong itu akhirnya menjadi tergantung. Bagi perempuan, sebuah perhatian dan kebaikan hati laki-laki merupakan harta yang tak ternilai. Dan tak disadari, itu membangun harapan. Perempuan jika sudah mempunyai harapan dan keinginan, akan sulit di reda.

”Sebelum aku berangkat ke Medan, memang sudah aku persiapkan skenario seperti ini. Aku akan menghilang dari duniaku itu. Demi Ina, demi harapan dan tujuan, aku rela melepaskan seluruh harta maupun atribut yang aku punya.” Andi mulai membuka memori beberapa tahun lalu.

”Kenapa kau menghilang. Padahal, kau sendiri yang menyuruhku memberimu nomor telepon.” Nino penasaran.

”Ya itulah, No… Aku melepaskan semua masa itu. Tentang jogja, tentang motor butut, rekan-rekan di alun-alun, juga termasuk kalian.” Andi membenahi duduknya bersandar ke kursi.

”Aku memisahkan diri dari rombongan sepulang dari medan. Aku bilang kepada mereka, aku akan mampir ke tempat saudara dahulu. Seketika itu aku menjadi orang baru. Tak ada lagi yang bisa menghubungiku. Seluruh berkas tentang aku dan asal keluargaku sudah aman di tempat Ina. Dan Ina, tak seorangpun kawan-kawan yang mengenal.” Andi tersenyum.

”Kenapa kau sampai melakukan itu?” tanya Nino

”Demi aku meraih ketentraman hati, cinta yang utuh dariku untuk istriku ini.” Andi melirik genit, menggoda istrinya yang kini tersipu.

”Sudahlah, apa mau dikata, kalian telah menemukan kami. Aku turut bahagia melihat kalian sudah menikah. Sebenarnya aku tahu beberapa bulan lalu kalian menikah. Kadang seminggu sekali aku ke tawangmangu, browsing internet. Mencari bahan-bahan baru sekalian melihat kabar teman-teman.” Andi mengaku.

Bertahun-tahun Nino berusaha meluluhkan hati ayah Fafa. Namun ternyata hal itu tak ada hasilnya. Malah ketika bersabar, pelan-pelan mendekat, menyelami maksud dan tujuan orang tua itu Nino akhirnya paham. Mengikuti alur yang ada tidak selalu berarti menyerah.

Ketulusan mencinta, kejujuran dalam bersikap memberikan ketentraman hati. Fafa yang tersakiti, atas nama cinta mampu memaafkan Nino yang pernah mengkhianatinya. Hanya karena cinta, Nino mampu bersabar menunggu saat yang tepat untuk bersanding dengan Fafa. Karena Cinta pula, Ina istri Andi bisa menerima Andi apa adanya.

Atas nama cinta, Andi mampu melepaskan kehidupannya, kenangan-kenangan indah. Menyerahkan seluruh jiwa raga kepada sang terkasih. Cinta mampu merubah segalanya, cinta butuh pengorbanan. Namun, cinta juga butuh logika. Setiap manusia, berbeda dalam mengartikan Cinta, pengorbanan dan logika. Yang jelas, cinta bukan mainan. Tak terlihat, namun bisa dirasakan suka dan dukanya. © groengerine

Komentar

→ Mengtje ← mengatakan…
puaaaanjange rek... komen menyusul ya Ri ...
take care..