Sebentar saja & sebuah senyum


Tergopoh-gopoh seorang perempuan menuruni tangga kampus yang mempunyai anak tangga lumayan banyak. Masih terengah-engah, dalam teriakan yang tertahan dia meneriakkan nama, “Adis…, Adis…!” wajahnya tampak menahan kesal. Sedang sang lelaki masih asyik mengobrol dengan rekan-rekannya di selasar.
Perempuan itu berjalan mendekat kemudian dengan suara yang lebih pelan memanggil lelaki yang dari tadi cuek itu. Entah memang tidak mendengar atau sengaja tidak menggubris panggilan tadi.
”Adis, sekarang sudah jam berapa? Engkau berjanji mengantarkan aku ke terminal.” dengan lebih halus perempuan itu berkata kepada Adis.
”Ya ampun, Ar… Aku kira kau masih di kelas. Baru saja aku akan bernajak ke atas untuk menunggumu di lobby depan.” Adis berjalan meninggalkan rekan-rekannya menghampiri Ari.
Adis berjalan menggandeng tangan Ari menuju tempat parkir. Seluruh mata menatap iri kepada pasangan tersebut. Seorang Adis yang beraut tampan berpasangan dengan Ari yang cantik. Benar kiranya pepatah, orang baik akan mendapatkan yang baik. Dan pastinya sang tampan akan mendapatkan pasangan yang cantik pula.
Untuk beberapa lama dia akan meninggalkan kekasihnya itu. Ari masih menyimpan kekesalannya kepada Adis. Akhir-akhir ini banyak sekali kejadian yang membuat sesak di dada. Beberapa kali janji-janji Adis tidak ditepati, kata-kata Adis berujung sebuah kebohongan. Namun apa hendak dikata jika rasa sayang telah berkembang, sakit seperti apapun tak lagi dipedulikan. Logika dikesampingkan karena tak ingin kehilangan.
Setelah kepergian Ari, Adis merasakan ada yang kurang. Belum berganti hari, rasa rindunya sudah menumpuk ingin bertemu. ”tit..tiit…”, telepon genggamnya berbunyi. Dibacanya sebuah pesan singkat, ”Adis…, cepat ke kampus! Ada hal penting”. Segera Adis mengunci kamarnya dan bergegas kembali ke kampus.
Rekan-rekan sudah menunggunya. Malam ini adalah persiapan terakhir untuk acara malam pengakraban mahasiswa baru. Adis sebagai penanggung jawab dokumentasi. Adis kebagian merangkap tugas transportasi pula. Malam itu dia harus mendapatkan sarana transportasi untuk esok hari.
Pagi menjelang, berat rasanya mata untuk terbuka. Adis beranjak ke kamar mandi. Namun, langkahnya tertahan demi melihat ponselnya yang berkedip-kedip menandakan ada pesan yang masuk. Hampir sepuluh pesan yang dia terima dari Ari. Dibacanya satu persatu. Berawal dari hanya bertanya kabar, kekhawatiran, hingga berujung pada luapan kemarahan. Buru-buru Adis membalasnya dengan kalimat singkat, “maaf, semalam kakak ketiduran. Capek habis ngurusin acara kampus”.
Ari yang di sebarang sana semakin menjadi-jadi kekesalannya. Bukan dia tak setuju Adis aktif di acara-acara kampus. Bolehlah aktif di luar sana. Namun, jangan lupa kepada kekasih yang selalu mengkhawatirkannya. Orang yang juga butuh diperhatikan.
Ari buru-buru menghubungi Adis. Berkali-kali dia telpon, tak juga ada nada diangkat. Selang beberapa menit pesan singkat masuk, “tadi kakak lagi mandi”. Segera Ari menelpon Adis kembali.
”Kakak maunya apa sih? Dari kemarin tak ada kabarnya…” Ari langsung menumpahkan kekesalannya.
”Kakak sedang ada kegiatan dengan teman-teman kampus. Ini mau berangkat ke kampus lagi.” Jawab Adis dengan nada mencoba meredam.
”Adik khawatir, dari kemarin adik sms tak dibalas. Takutnya, ada apa-apa dengan kakak” suara Ari sudah mulai pelan.
”Iya, kakak yang salah. Kakak baik-baik saja. Cuma sedikit lelah dan merindukanmu.” mulailah keluar kata-kata rayuan dari mulut Adis. Perbincangan dua insan yang saling mengasihi itu berlanjut hingga tak disadari hari semakin beranjak siang.
Keributan di kampus tak dapat dihindari. Penanggung jawab dokumentasi dan transportasi belum kelihatan. Dihubungi lewat telpon, selalu bernada sibuk. Salah seorang panitia berinisiatif untuk mendatangi tempat tinggal Adis. Di tengah jalan, mereka berpapasan. Adis memboncengkan salah seorang peserta yang ternyata juga datang terlambat.
Sesampainya di kampus, ketua panitia memanggil Adis. ”Kamu apa-apa’an sih, Dis? Itu mahasiswa baru yang harusnya kita didik untuk disiplin. Malah kamu ajak terlambat. Mentang-mentang dia sama kamu, terus boleh melanggar peraturan?” Cerocos ketua panitia.
”Lhoh enggak gitu An, itu tadi aku ketemu di jalan, terus…” belum sempat Adis selesai bicara, sang ketua panitia sudah menyambar,” Sudah, kamu memang paling bisa cari alasan. Sekarang kita kembali ke pos masing-masing. Dokumentasi dan transportasi sudah siap?”
”Siap… sudah!” Jawab Adis. Hari ini dalah jadwal keberangkatan Mahasiswa baru. Untuk beberapa hari mereka akan berada di tempat terpencil untuk menjalani pengakraban.
Untuk beberpa hari pula komunikasi Ari dan Adis terputus. Kesepian menghampiri Ari. Mencoba mencari kesibukan lain, mencoba mencari teman-teman lama di kota kelahirannya. Namun, kesepian itu masih saja tak mau pergi.
Sempat pula Ari lewat dimana dia dulu bersekolah. Senyum kecil mengembang di bibirnya tatkala mengingat kisah-kisah ketika masih duduk di bangku sekolah itu. Ketika cinta monyet, ketika air mata meleleh kala salah seorang guru yang dia suka menikah, ketika kakak-kakak kelas menggodanya. Ada sebuah nama yang masih teringat. Namun, atas nama kesetiaan, tak lagi pernah Ari menghubunginya. Agung, seorang sahabat yang ternyata memiliki asa ingin berbagi kasih sayang dengannya.
“Gung…, bukannya aku tak sayang padamu. Tapi, aku tak ingin kehilangan engkau. Biarlah kita bersahabat hingga akhir hayat. Biarkan aku memilikimu untuk selamanya” begitu kata Ari ketika menanggapi keinginan Agung untuk menjadikannya seoarang kekasih beberpa tahun lalu. Agung hanya terdiam. Tak ada lagi kata yang sanggup dia ucapkan mendengar keputusan Ari. Dalam hati dia bertekad untuk tak lagi melihat atau menghubungi Ari. Agung memutuskan untuk meneruskan pendidikannya ke Malang. Sedangkan Ari mengambil sebuah bidang studi di kota Solo.
Setiap sore hari, Ari berjalan-jalan di alun-alun. Setiap sore pula Ari melewati jalur yang sama. Kali ini langkahnya terhenti di depan pedagang kaos kaki sepuluh ribu tiga. ”Mas, kaos kaki yang jari itu ada nggak?” tanya Ari kepada penjualnya. Wajah sang penjual sedikit tertutup topi yang dia kenakan. ”sepertinya, aku mengenal wajah penjual ini.” gumam Ari dalam hati.
”Oh ada mbak…, yang ini kan? Tapi ini tidak termasuk di sepuluh ribu tiga itu lho…” Sembari penjual itu menyodorkan kaos kaki yang dimaksud Ari. Wajah pedagang itu benar-benar tidak asing di mata Ari. Tapi siapa dia, Ari sama sekali tidak ingat namanya.
Sepulang dari alun-alun dengan membawa sepasang kaos kaki, Ari kembali merasa kesepian. Dia coba hubungi Adis, tetap tak bisa. Ingin rasanya segera kembali ke Solo, ke rutinitas seperti biasanya. Namun dengan tidak adanya Adis, pasti kesepian akan tetap mendera. Malam ini bulan dan bintang tidak bersinar. Suasana yang tepat untuk terlelap.
Sudah hampir lima hari Adis tak ada kabarnya. Ari sudah tak tahan untuk segera kembali ke Solo. Berdiam diri di kamar, merencanakan sesuatu jika nanti Adis sudah pulang. Siang itu, Ari berangkat ke kota bengawan. Bus yang ia tumpangi terasa sangat lama. Dan rasa kantuk sama sekali tak hinggap. Padahal, seringkali dia tertidur ketika perjalanan semacam ini.
Kota ini memang benar-benar lengang. Tetangga kamar juga belum ada tanda-tanda kehidupan, entah masih di kampung halaman atau tidur. Memasuki kamarnya, disambut fotonya berdua dengan Adis. Semakin hebat kerinduannya kepada Adis. Dicobanya kembali menghubungi sang kekasih. Kali ini ada nada panggil, namun tak diangkat. Sepertinya, Adis sudah sampai kembali di Solo.
Keesokan pagi, Ari sudah berjalan menuju tempat tinggal Adis. Dilihatnya dari jendela, Adis masih terkapar. Di depan pintu nampak barang-barang tersecer penuh dengan lumpur dan kotoran. Ari membenahinya tanpa ingin mengganggu tidur Adis yang nampak kelelahan.
Setelah semua rapi pada tempatnya, Ari membangunkan Adis dan menyodorkan handuk beserta alat-alat mandi. Berangsur-angsur mata Adis terbuka, ”eh, adik kapan datang?” dibalas senyuman oleh Ari, ”kemarin, kakak mandi dulu. Setelah ini kita cari sarapan.” jawab Ari. Kesepian bukan lagi teman untuk hari ini. Sang pujaan hati telah kembali. Saatnya melepas rindu beberapa waktu yang berlalu.
Solo benar-benar cerah. Berseri seperti senyum hati Ari. Adis yang masih bergurat lelah, makan dengan lahap. Sesekali menggoda Ari yang kadang ketahuan meliriknya. ”Bagaimana kabar bapak dan ibu di rumah?” tanya Adis. ”Baik saja…, kakak kapan main ke Madiun lagi?” Ari mengambil tisu dan mengelap sudut bibirnya.
”Kita ke tempat cetak foto yuk…!” Adis menyudahi makannya sambil mulai beranjak dari tempat duduknya. ”Baik, tapi adik ambil jaket dulu ya..” Ari mengiyakan.
Berdua mereka menikmati kota Solo. Motor melaju ke taman balekambang setelah dari tempat cetak foto. Berjalan dua anak manusia itu menyusuri kolam. Kemudian duduk di bawah pohon sambil menyantap makanan kecil.
”Bagaimana acara keakraban Mahasiswa barunya, kak?” tanya Ari.
”Lancar… Beberapa ada yang jatuh sakit, tapi teman-teman panitia sigap menangani semua itu.” jawab Adis masih dengan mulut penuh makanan.
Ari merasakan ada yang aneh dengan kekasihnya itu. Mungkin karena efek lelah, jadi agak malas-malasan ketika dia ajak jalan-jalan hari ini. Genggaman tangan Adis juga terasa tidak senyaman seperti sebelum dia pulang. Layaknya sedang berjalan dengan robot. ”Kakak masih capek ya? Ayo kita pulang saja. Lagipula, hari juga beranjak gelap.” ajak Ari.
”Besok kakak ada acara pagi, kita bertemu siang saja ya. Nanti kakak yang ke tempat adik.” Kata Adis ketika sudah sampai di depan tempat Ari. ”Baiklah, adik tunggu.” senyum manis tersungging mengantar kepergian Adis.
Seorang perempuan keluar dari kamar dan menghampiri Ari yang sedang di depan televisi malam ini. Memperkenalkan diri bernama gita, mahasiswa baru yang kebetulan sama fakultasnya dengan Ari. Mahasiswi itu bercerita tentang acara yang baru saja dia ikuti kemarin. Panitia yang semuanya galak dan kejam. Namun, tak disangkal, mereka baik hati dan sebagian memang berwajah tampan.
Ari tersenyum mendengarkan cerita teman barunya itu. Mengingat awal perkenalannya dengan Adis, berwal dari acara semacam itu juga. Gita juga bercerita tentang beberpa temannya yang langsung jadian ketika acara berakhir. Bagaimana tidak, intensitas yang tinggi membuat orang semakin mengenal dan akhirnya tanpa pikir panjang, tak ingin kehilangan. Mungkin cerita itu tak akan usai jika tak teringat kepada malam yang mulai beranjak pagi.
Ari bangun kesiangan. Segera dia mandi dan bersiap-siap dijemput Adis. Gita sudah nongkrong di ruang depan sembari makan nasi bungkus. Sambil berbasa-basi, Ari duduk di sebelah Gita.
”Mau pergi, mbak?” tanya Gita.
”Iya ini mau belanja sebentar.”
”Sendirian?”
“Enggak, nanti dijemput temen.” Jawab Ari.
“Hehmh… temen atau pacar?” gita menggoda, kemudian mereka berdua tertawa.
Deru suara motor Adis memasuki halaman. Ari beranjak dari tempat duduknya. Gita masih menikmati makanannya. Belum sampai Ari di pintu, Adis sudah masuk ke ruang depan. ”Hai…” sapa Adis. Gita mendongak dengan mulut yang masih penuh makanan.
”Kenalkan Git, ini Mas Adis.” Ari memperkanalkan Adis kepada Gita. ”ohh.. iya, aku sudah tahu mbak. Mas Adis kan salah satu panitia di acara kemarin. Nama saya Gita, mas.” Gita langsung nyerocos, makanan di mulutnya langsung ia telan tanpa terkunyah sempurna demi melihat Adis di depannya.
Tanpa menunggu lama, Adis dan Ari sudah berada di atas motor. Hanya Gita yang masih terpaku. Bukan karena ketampanan Adis, melainkan tentang siapa sebenarnya Adis.
Malam ini, Gita serba salah. Ingin rasanya dia bercerita kepada Ari tentang Adis yang dia tahu. Namun, dia tak ingin mencampuri urusan orang lain. Keberanian hatinya menguat ketika ingat seorang Aik, perempuan baik hati, ringan tangan. Dan mbak Ari, seorang yang ramah dan sabar. Tak tega dia melihat orang-orang sebaik itu di sakiti oleh seorang lelaki.
”Mbak Ari, saya mau tanya. Maaf kalau ini mengganggu Privacy mbak Ari. Mas Adis itu sebenarnya siapa mbak Ari? Pacar ya?” Perlahan Gita bertanya kepada Ari.
”Hehmh… iya. Kami sudah hampir dua tahun jalan bersama.” jawab Ari disertai senyuman.
”Maaf lagi ini mbak. Saya tidak ada maksud apa-apa. Hanya saja saya tak ingin ada yang tersakiti. Mungkin pula….” Belum sempat Gita menyelesaikan kalimatnya, Ari sudah memotong, ” tidak apa-apa, Git. Banyak mahasiswi yang tergila-gila padanya. Namun, aku percaya dia orang yang setia.” Ari mulai beranjak dari tempat duduknya.
”Sebentar mbak, Mungkin apa yang saya pikirkan salah. Kemarin ketika Acara keakraban itu selesai, di depan seluruh mahasiswa baru dan panitia, mas Adis jadian dengan teman saya si Aik…” tangan Gita menggapai lengan Ari.
Seperti disambar geledek hati Ari. Namun untuk menutupi itu, Ari berusaha tersenyum dan mengelus tangan Gita untuk melepaskan.
Di dalam kamar, Ari berusaha menghubungi Adis. Nomer Adis tak bisa di hubungi. Beberpa pesan terkirim. Namun masih dalam status menunggu. Siang dan malam terasa sangat jauh perbedaannya. Kali ini Ari tidur dengan rasa penasaran.
Mungkin terlalu pagi untuk seorang perempuan mendatangi tempat laki-laki. Tak seperti biasanya, Adis sudah bangun dan rapi. Ada raut muka agak berbeda ketika melihat Ari datang. ”Ada apa adik pagi-pagi kesini?” tanya Adis menyembunyikan keterkejutannya.
”Tumben juga kakak sudah bangun dan rapi. Mau kemana? Tak ada janji ketemu dengan adik sepagi ini kan?” Ari bertanya heran.
”Kakak ada acara di studio Foto.” jawab Adis. Ari tak habis pikir belum ada pukul tujuh ke studio foto?
Pandangan mata mereka berdua beralih ke suara deru motor yang masuk ke halaman tempat tinggal Adis. Masih di atas motor, seorang perempuan berteriak ke arah mereka berdua, ”eh, kakak sedang ada tamu?” Adis masih terpaku. Ari tersenyum.
Setelah perempuan itu turun dia menyodorkan tangan, ”Saya Aik…” Ari masih terdiam dalam jabat tangan. Ingatannya mundur di cerita Gita. ”Ohh…, saya Ari.” setelah jabat tangan itu lepas, Ari menghampiri Adis.
”Plaak…” sebuah tamparan mendarat di pipi Adis. Kemudian Ari pergi begitu saja menahan sesak di dada tanpa kata-kata. Perjalanan dengan membawa beban terasa panjang.
Besar rasa sayangnya kepada Adis, luntur seketika dalam beberapa menit saja. Beberapa hari Ari tidak berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Berharap telepon berdering atau pesan masuk berisi permintaan maaf Adis, kiranya hanya angan saja. Kota ini mencekam, menyakiti hatinya yang sedikit-demi sedikit melemah dan rapuh.
Gita berusaha menghiburnya. Mengajaknya ngobrol, melihat film bersama, membeli makanan di warung sebelah, atau jalan-jalan ke pusat kota. Ari sedikit terhibur. Namun, setiap melihat lelaki berparas menarik, hatinya kembali sakit.
Tuhan menggariskan hidup manusia sangat akurat dan teliti. Perjalanan hidup manusia tak lepas dari skenarioNya.
Suatu hari, Ari kembali bertemu dengan penjual kaos kaki di yang ditemuinya kala itu di Madiun. Berawal dari Gita yang berkeinginan membeli kaos kaki jari seperti milik Ari. Di sebuah trotoar dekat kampus, ada penjual kaki lima yang menawarkan kaos kaki. ”Kayaknya saya pernah bertemu dengan mas ini di madiun ya?” tanya Ari. Sang pedagang tersenyum, ”iya mungkin. Waktu itu saya sedang liburan mbak. Iseng daripada menganggur, saya jualan disana.”
”Lhoh, mas kuliah disini?” ganti Gita yang bertanya.
”Iya mbak, daripada nganggur juga.” canda penjual itu disambut tawa tiga mahasiswa itu bersamaan.
Kali ini sang penjual memberi harga lebih murah. Kemudian mereka saling berkenalan. Boni sang penjual kaos kaki, begitu Ari dan gita menyebut kawan baru mereka itu. Boni ternyata mengambil jurusan yang sama dengan mereka. Hanya saja sekarang dia sudah lulus dan sedang mencari pekerjaan.
Ari mulai menikmati kesendiriannya. Dunia di luar penuh warna. Tak perlu kesedihan selalu dikurung dalam ruang yang sempit. Biarkan saja kesedihan datang. Berangsur akan menjadi kebahagian dalam kesempatan yang tak terduga.
Semenjak tak ada kabar dari Adis, Ari menjadi sosok yang ramah dan bergaul dengan semua orang. Tak harus pagi dia sarapan sebelum kuliah dan pulang di antar sampai depan kamar. Tak ada lagi kewajiban melapor dan bertanya kabar. Tak disangkal, rasa itu masih ada. Sayang namun sakit, kenangan akan selalu indah untuk di ingat.
Sengaja Ari berangkat ke kampus agak siang. Selain ingin bermalas-malasan, ia tak ada kuliah pagi. Sarapan di warung sebelah, berdesak-desakan dengan mahasiswa-mahasiswa yang sepertinya habis mengangkut pasir, sebab mereka ambil nasi layaknya dua hari belum makan.
”Hei…, Ari kan?” seorang pria mnyapanya. Ari menoleh ke arah suara tadi. “eh, mas Dika. Makan mas?” tanya Ari setelah mengetahui siapa yang memanggilnya tadi.
”Iya ini… mana Adis, kok sendirian?” tanya Dika, kakak tingkatnya di kampus. Senyuman terkembang meski sedikit goresan kembali menyayat hati Ari. ”Gak tahu mas. Mungkin masuk pagi hari ini.” jawab Ari.
Demi mendengar nama tersebut, apapun yang dilakukan terasa berat bagi Ari. Makanan favorit di depan mata, tak juga terasa enak disantap. Dika melihat hal itu, ”Kenapa Ar, kau sakit?” tanya Dika. ”Tidak mas, Cuma tiba-tiba kenyang saja.” jawab Ari.
”Kenyang? Kau santap saja belum, kok tiba-tiba kenyang? Atau karena kau melihat wajahku, kemudian jadi eneg?” tanya Dika sambil bercanda. Gelak tawa pecah di warung makan itu. Ari yang tadi lukanya tergores, kini kembali ceria.
Setelah makan selesai, Dika menawarkan diri mengantar Ari ke kampus. Apalagi mereka sejalan pula. Tanpa pikir panjang, Ari sudah berada di belakang Dika.
Tugas-tugas dari kampus semakin menumpuk. Ari kadang kewalahan jika tak satupun referensi dari perpustakaan bisa menjadi bahan mengerjakan tugasnya. Dia-pun harus mencari bahan. Terkadang cari bahan tersebut di toko buku bekas daerah Sriwedari. Jika tidak, terpaksa harus ke Jogja. Kalau dahulu, ada yang mengantar. Sekarang, dia harus pergi sendiri. Diajaknya Gita mencari bahan-bahan tersebut. Sekalian jalan-jalan ke Sriwedari.
Di daerah Sriwedari ini jika beruntung akan mendapatkan buku bagus dengan harga yang murah. Namun, sayang kali ini Ari tak mendapatkan buku yang di inginkan. Iseng, Ari mengirim pesan ke Dika. Siapa tahu Dika bisa membantu. Dan ternyata, malah Dika mempunyai beberapa buku yang di inginkan Ari.
Sore itu Dika mengantarkan beberpa buku ke tempat Ari. Canda tawa terdengar dari ruang tamu. Terlihat Gita juga ikut bergabung disitu. Menjelang malam, mereka bertiga berjalan bersama mencari nasi kucing. Nasi khas Hidangan Istimewa Kampung.
Sedang asyiknya mereka menikmati malam, tiba-tiba telepon Ari berdering. Adis, sebuah nama yang jika muncul membuat hatinya teriris. Dengan maksud menghargai dan menghormati sang penelpon, Adis mengangkatnya, ”Halo, ada apa?”
”Adik dimana? Kakak ingin bertemu.” suara Adis di seberang sana.
”Sudahlah, tidak usah mengulang semua yang pernah kita lewati. Berbahagialah engkau bersama Aik…” Ari menutup teleponnya. Tak lama berdering kembali, Adis lagi. ”aku ingin menjelaskan sesuatu padamu.” Adis cepat menyelesaikan kalimatnya.
”Sudahlah, semua sudah jelas. Adik-adik tingkat yang hadir di acara pengakraban itu juga sudah mengetahui siapa Adis dan Aik.” Ari bersuara agak ketus.
”Bukan begitu, Gita cerita padamu tentang…” belum sempat Adis menyelesaikan kalimatnya, Ari sudah menutup kembali teleponnya. Dika dan Gita terlihat menikmati malam ini. Tawa dan canda mereka terlihat lepas.
Sejak saat itu, Dika seringkali kepergok Ari sedang berdua dengan Gita di ruang depan. Entah itu ketika siang sepulang dari kuliah, atau malam menjelang makan malam. Ari sudah mengira mereka jadian. Bahkan ketika Gita digoda, hanya senyum-senyum jika itu membawa-bawa nama Dika. ”Memang, takdirku kali ini harus sendiri. Sedang teman-temanku menjelang semester-semester akhir seperti ini malah punya kekasih.”, pikir Ari.
Bahan untuk ujian semester ini banyak yang belum dapat. Ari kembali meminta bantuan Dika. Namun kali ini Dika tidak mempunyai bahan yang dimaksud. Malah Dika mengusulkan bagaimana jika cari aja ke jogja. Ari mengiyakan. Hari minggu ini, mereka sepakat untuk ke Jogja. Bersama Gita tentunya.
Pada hari yang dimaksud, Gita tidak terlihat di kamarnya. Ari kemudian menelpon Dika, ”Gimana Mas, udah siap berangkat?”
”Kamu kesini dulu ya, Ar.. aku baru bangun. Ini kalo’ gak ada yang bangunin, mungkin aku juga belum bangun tadi. Ha..ha..ha..”. dasar laki-laki, gumam Ari.
Sesampai di tempat Dika, Ari bertemu dengan sosok lelaki yang sudah tiga kali ini ia jumpai. Boni sang penjual kaos kaki ternyata tetangga kamar Dika.
”Hei mas Boni, kok disini? Tinggal disini juga ya?” tanya Ari kepada Boni.
”Hei.. mbak mahasiswi, ada apa pagi-pagi kesini? Mau beli kaos kaki lagi? Kok tahu tempatku disini?” Boni yang baru saja bangun tidur menampakkan raut muka heran.
”Enggak, ini mau jemput mas Dika. Kita mau ke jogja.” kata Ari.
”Wuih…, sejak kapan Dika disamperin cewek? Semalem mimpi apa mbak Ari?”
”Emangnya kamu aja yang disamperin cewek?” Dika keluar dari kamar sambil mengeringkan rambutnya memakai handuk. Ari tersenyum kecil. ”Kamu kenal si Boni Palyboy ini dimana, Ar? Ati-ati kena rayuannya lho..! Dika berteriak dari tempat jemuran.
“hweh… siapa yang playboy? Daripada kamu posesif!” Boni tak mau kalah.
“Sudah-sudah, kenapa sih pagi-pagi malah berantem. Udah pada sarapan belum?” Ari mencoba menengahi. “Ya belumlah…” Boni dan Dika menjawab serempak.
“lhoh, Gita mana?” tanya Ari kepada Dika ketika mereka sudah mulai berjalan ke warung makan. “Lhoh, aku pikir dia sudah bilang ke kamu kalau dia gak bisa ikut.” Jawab Dika.
“Yah.. mana ada yang mau jadi orang ketiga?” celoteh Boni. “Lha ini, kamu jadi orang ketiga Bon. Sana pulang kalau gak mau!” jawab Dika.
”Ini beda, Ka. Pan kita mau makan bareng.” Boni tak mau kalah.
”Sudahlah, kenapa sih ribut melulu?” Ari angkat bicara.
Setelah makan, Ari dan Dika menuju jalan raya mencari angkutan umum untuk ke stasiun, kemudian naik kereta ke jogja. Sedangkan Boni, kembali ke kamarnya dan melanjutkan mimpi.
Dua jam perjalanan kereta tak terasa lama. Sepertinya sekejap saja sudah sampai di stasiun tugu. Itulah yang dirasakan oleh Ari. Sengaja mereka memilih naik bus, karena matahari sudah bersinar cukup terik. Belum mereka duduk, bus sudah berhenti di halte taman pintar. Kemudian berjalan kaki menuju shooping.
Ari sibuk mencari dan memilih buku-buku bahan tugasnya dari lapak ke lapak. Dika berhenti di salah satu lapak yang menjual majalah-majalah import bekas. Sesekali Dika mendongak, mencari-cari keberadaan Ari. ”Hemm…, alangkah cantik paras perempuan ini.” gumam Dika dalam hati. Sosok perempuan yang di pandanginya itu ternyata merasakan jika dia sedang di awasi. Senyum manis menghias wajahnya.
Setelah mendapatkan apa yang dicarinya, Ari mengajak Dika meninggalkan tempat itu dan mencari tempat makan. Mereka berhenti di depan taman budaya Yogyakarta. Menikmati gudeg menjelang sore, tak kalah nikmat dengan lesehan di malioboro ketika malam hari.
“Ar…, bukan aku ingin menggores hatimu yang terluka. Aku hanya ingin tahu mengapa engkau dan Adis berpisah. Tidak kau jawab tak mengapa. Aku hanya menyayangkan, kenapa pasangan yang aku lihat sempurna seperti kalian sekarang memilih jalan sendiri-sendiri.” Dika memberanikan diri bertanya pada Ari.
”Sudahlah mas, itu sekarang bukan suatu hal yang patut di puji. Aku juga tak lagi sakit hati. Setelah aku berpisah dari Adis, aku merasakan hal lain di kehidupanku. Bertemu dengan banyak orang, menjalani hari-hariku penuh kebebasan.” Ari acuh saja menjawab pertanyaan Dika. ”Mas Dika tahu darimana aku putus dengan Adis? Seingatku aku tidak pernah cerita kepada siapapun.” tambah Ari.
”Logika, Ar… jika kau masih bersama Adis, tak mungkin aku yang menemanimu ke Jogja kali ini.” Dika memberikan alasannya.
”Logika bagaimana? Apa Mas Dika juga sudah putus dengan Gita? Bukankah seharusnya dia berada di antara kita kali ini?” Ari membalikkan kata-kata Dika.
”Putus? Kapan pula aku jadian dengan Gita? Dia orang yang asyik untuk di ajak ngobrol. Di lain sisi, aku sedikit mengetahui siapa seorang Ari dari dia pula. Karena…” Kalimat Dika terpotong, ”Ada apa ini? Mas Dika disuruh Adis untuk merayuku agar mau kembali padanya? Maaf mas, memang mungkin sakit hatiku sudah agak terlupa. Tapi, akuta siap untuk kembali merasakan sakit yang sama. Selain itu…” ganti sekarang Dika yang memotong. ”Dengarkan dulu apa yang aku bilang hingga selesai. Setelah itu kau boleh berkomentar apa saja.” cerocos Dika.
”Baik… silahkan Mas Dika lanjutkan.”
”Aku lakukan ini semua, karena aku suka sama kamu!” Raut muka Dika tampak serius. Ari terdiam. Dia tak menyangka Dika yang dia anggap sebagai kakak ternyata memendam rasa semacam itu.
”Mas dika, aku menghargai perasaan mas kepadaku. Namun, apakah mas sudah memikirkan baik-baik. Mas bukan orang pertama yang suka padaku di solo. Denagn kata lain, aku sudah mantan seseorang. Mas Dika jangan hanya melihat aku di luarnya saja. Bisakah Mas Dika memehami jiwaku?” Ari memberikan gambaran.
”Siapapun engkau, apapun yang sudah terjadi padamu, aku terlanjur sayang padamu. Mungkin inilah yang dinamakan jatuh cinta. Aku akan berusaha membahagiakanmu” Dika berusaha menggapai tangan Ari.
”Hari sudah sore, mari kita bergegas pulang, mas.”
”Cobalah engkau tidak mengalihkan pembicaraan. Berikan aku jawaban padaku.” Dika masih bertahan. ”Jawaban atas pertanyaan yang mana?” Ari tampak bingung.
”Jawaban tentang perasaanku padamu.” kata Dika.
”Itu pernyataan…” Ari mulai berputar-putar.
”Maukah kau jadi kekasihku? Kurang jelas pertanyaanku?” Dika tegas bertanya.
”Ya… asal Mas bisa benar-benar memahamiku.” Ari tak kalah tegas menjawab pertanyaan Dika.
Kereta terakhir jurusan Solo tak mungkin terkejar. Akhirnya Dika dan Ari memutuskan memakai bus untuk pulang. Ari masih berpikir, apakah tidak terlalu cepat dia menjalin hubungan lagi. Meski dalam kebingungan, kepala Ari sudah bersandar di bahu Dika dengan mata yang berusaha dia pejamkan.
Bulan demi bulan berlalu. Meskipun Ari kini tak lagi sendiri, namun tidak ada kewajiban dia untuk sarapan bersama atau ke kampus harus berdua. Semester ini menjelang kelulusan Ari. Selain materi dan beberpa tugas yang harus di selesaikan, Ari juga harus segera merampungkan Tugas Akhir.
Ari dan Dika berlomba untuk siapa yang terlebih dahulu mendapatkan gelar. Meskipun Dika terhitung sebagai kakak tingkatnya, namun untuk Tugas Akhir belum terselesaikan.
Bagi Ari, semester akhir ini adalah babak penentuan bagi dirinya untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik. Untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Banyak sekali rintangan yang dihadapinya. Kehadiran Dika cukup membuatnya tegar dan merasa nyaman melakukan semua aktivitas.
Kesalah pahaman dan pertengkaran kecil tak begitu berarti di kehidupan mereka berdua. Hingga suatu pagi, sebuah pesan singkat diterima Ari. Sebuah kabar dari nomor tak dikenal mengenai pernikahan kawannya.
“Terima kasih, wah…, akhirnya mnikah jg dia ya? Maaf, ni sp y? G da di phnbook saya.” Balas Ari. Tak disangka tak dikira, balasan dari pesannya tersebut adalah sebuah nama yang membuatnya bahagia, kecewa, tapi juga khawatir, “Ini aku Agung.”
Ari merasa ada yang lain di hidupnya setelah mendapat pesan dari Agung tersebut. Kebahagiaan yang lalu seperti terulang kembali. Namun, kesetiaan Ari kepada Dika tak sedikitpun tergoyahkan.
Pagi yang cerah di kota Solo. Ari datang di tempat Dika ketika Boni sedang menjemur pakaian-pakaian dalamnya. “Whoaa…, jangan kesini dulu! Gila, ngapain pagi-pagi kesini, neng?” teriak Boni dari tempat jemuran. Ari tersenyum kecil sambil berlalu ke depan kamar Dika.
“Mas Dika, bangun mas. Ayo sarapan.” Ari mengetuk pintu sembari sedikit berteriak. Boni yang sayup-sayup mendengar kata ‘sarapan’ langsung menyahut, “Sarapan dimana ini? Sebentar, aku ganti pakaian dulu ya.”
“Yee.. siapa yang ngajak kamu?” Dika dengan mata masih merah membuka pintu dan berteriak.
“Sudahlah, ayo kita makan bareng-bareng.” Ari menengahi.
“Aku lagi malas ini. Kamu aja yang beli dibungkus ya?” pinta Dika.
“Ya sudah, aku ke warung dulu. Mas mandi dulu sana.” Kemudian Ari berjalan melewati kamar Boni” Mas Boni mau lauknya apa?” Ari bertanya kepada Boni yang sudah berpakaian lebih rapi.
“Lhoh, kita gak jadi ke warung bareng-bareng?” tanya Boni.
“Enggak, kayaknya Mas Dika kecapekan itu. Kasihan.” Jawab Ari. Boni tak terbiasa dibelikan makanan oleh perempuan. “Terserah Ari deh, namanya ditraktir kan aku harus nurut.” Kemudian tawa Boni memecah sunyi pagi.
Hampir setiap pagi Ari datang ke tempat Dika dengan membawa bungkusan makanan. Hal itu membuat Boni tak berkutik untuk minta ditraktir lagi. Bahkan, ketika Boni bangun, mereka berdua sudah selesai sarapan.
Sudah menjadi kebiasaan seorang Dika di tiap pergantian tahun dia ke gunung menemani kawan-kawannya. Dika berat hati meninggalkan Ari. Namun apa hendak dikata, Ari bukan orang yang terbiasa di udara dingin dan berjalan di gunung.
Selama kepergiannya, Ari yang membersihkan kamar Dika. Mencuci beberapa pakaian kotor Dika. Boni yang tetangga kamar, iri melihat perlakuan Ari kepada Dika seperti itu.
“Neng, sekalian kamarku yang dibersihkan dong…” Canda Boni.
“Boleh mas, nanti sehabis aku cuci karpet ini ya.” Jawab Ari.
Hari ini cuaca sangat panas. Waktu yang tepat untuk mencuci pakaian, pikir Boni. Kemudian dia mengeluarkan seluruh pakaian kotornya yang menggunung dan memasukkannya ke mesin cuci. Sembari menunggu pakaiannya bersih, Boni menghidupkan televisi dan tak disadarinya kantuk menyerang, tak terelakkan akhirnya tertidur. Ketika bangun, seluruh pakaiannya sudah tertata rapi di jemuran.
“Eh, mas Boni sudah bangun? Cepetan keluar, katanya Kamarnya minta di bersihkan. Itu tadi mesin mau saya pakai untuk mencuci karpet. Jadi pakaian mas Boni yang sudah bersih saya jemur sekalian.” Ari langsung menyerocos melihat Boni kebingungan ketika keluar kamar. “Waah…, ketahuan sama Ari seberapa kotornya pakaianku.” Batin Boni.
“Tidak usah, Ar. tidak usah membersihkan kamarku. Tadi aku hanya bercanda.” Kata Boni.
Menjelang sore, Boni menawarkan makan malam kepada Ari. Hitung-hitung sebagai wujud terima kasih atas bantuannya mencucikan pakaian. Ari menyetujuinya. Alhasil malam itu mereka berdua makan di sebuah tempat yang cukup layak untuk disebut makan malam. Di sebuah restoran yang cukup banyak pilihan makanannya.
“Terima kasih ya, tadi udah mencuci pakaianku. Besok setrika sekalian ya.” Boni bercanda. “Iya mas, asal bayarannya cocok saja.” Ari menjawab, sesungging senyum cukup meruntuhkan hati semua laki-laki yang melihatnya. Paras cantik nan rupawan.
“Bagaimana Tugas Akhirmu, sudah selesai?” tanya Boni.
“Sudah mas. Tinggal menunggu hasilnya dan mendaftar wisuda periode ini.” Jawab Ari. Sesuap demi sesuap makanan dilahap Boni tanpa sisa. “setelah lulus ini, mau kemana kau?” tanya Boni lagi di ujung penghabisan makannya.
“Pinginnya sih nikah, mas. Tapi, gak tahu tuh. Mas Dika belum kelar juga kuliahnya.” Ari mengusap ujung bibirnya, membersihkan sisa makanan yang menempel. Ada perasaan suka dari Boni melihat Ari malam ini. Bercerita tentang kuliah, hingga beberpa hal yang membuat mereka tertawa.
Telepon Ari berdering, “Halo…, hei bagaimana kabarmu?” Ari menjawab teleon tersebut. Boni mengambil minum, namun pendengarannya ditajamkan mendengarkan perbincangan Ari dengan orang di seberang telepon. Setelah selesai Boni bertanya kepada Ari, “Dika telepon?”
“Bukan mas, teman SMA dulu. Baru beberapa bulan yang lalu. Agung, sahabatku yang ketika kita hampir lulus pernah bilang suka aku. Tapi, aku tak bisa menerimanya. Aku terlanjur sayang sama dia. Tak bisa aku menerimnya sebagai kekasih.” Jawab Ari.
“Bagaiman jika sekarang dia bilang kepadamu, inginmenikahimu?” Tanya Boni.
“Tidak mas, aku tak akan mengkhianati mas Dika.”
Alangkah teguh pendirian perempuan ini. Dika yang terkadang kasar menurut Boni, masih setia seorang Ari menemani. Dika yang keras kepala dan semaunya sendiri, tak membuat Ari habis kesabaran.
Alangkah mulia hati seorang Ari. Dalam hati, Boni berjanji tak akan membiarkan kehilangan sosok seperti Ari ini. Akan dia sayang perempuan seperti ini. Namun, segera ia tepiskan pikiran semacam itu. Keinginan itu salah, itu hanya kemauan sesaat. Siapa lelaki yang tak tertarik dengan paras cantik? Apalagi setelah mengenalnya, ternyata dia juga berhati bersih. Lagipula, perempuan di hadapannya ini sudah mempunyai orang yang sangat dia sayang.
Dika pulang lebih cepat dari jadwal yang direncanakan. Ari tidak mengetahui hal itu. Terdengar suara Dika marah-marah di telepon. Boni keluar dari kamar. “Sudah pulang? Ngapain kamu pagi-pagi seperti ini marah-marah?” tanya Boni kepada Dika.
“Ini Bon, Ari dari tadi aku telepon tidak di angkat.” Jawab Dika.
“Lhah, kalau tidak diangkat, tadi kamu marah-marah ke siapa?”
“Sudah, sekarang dia udah dalam perjalanan kesini. Tapi kan sebel, jam segini belum bangun.” Jawab Dika.
Tak berapa lama, Ari datang tergopoh-gopoh. Kemudian keluar lagi buru-buru. Tak lama kembali lagi dengan membawa bungkusan. “Dari mana Ar? tanya Boni. “Beli sarapan mas. Mas Dika tuh, katanya lapar berat.” Jawab Ari.
Malam hari ketika melewati gang masuk ke tempat tinggalnya, Boni melihat sesosok orang yang sangat dikenalnya. Ari berjalan buru-buru dengan membawa bungkusa. Boni berhenti tepat disampingnya, “Ar, mau ke tempat Dika? Ayo aku bonceng.” Boni menawarkan bantuan. “Gak usah mas, aku masih mampir-mampir dulu. Mas Boni duluan aja.” Ari menolak halus.
“Tidak apa-apa, daripada kau jalan sendirian. Mampir kemana, aku antar.”
“Nggak mas, Mas Boni duluan saja.” Ari tetap menolak. Boni tidak bisa memaksa. Akhirnya Boni meninggalkan Ari yang berjalan sendirian.
Sesampainya di tempat ia tinggal, dilihatnya kamar Dika terang benderang dan suara musik agak kencang. “Kamu sakit?” tanya Boni kepada Dika.
“Enggak…” jawab dika.
“Tadi aku ketemu Ari jalan sendirian. Tidak kamu temani dia?”
“Rese amat sih, Bon? Biarin aja. Biar dia mandiri.” Jawab Dika lagi.
“Heh, dia jadi mandiri, nanti kamu tahu rasa sendiri. Jangan sampai kamu menangis kalau dia meninggalkanmu.” Boni ngeloyor pergi ke kamarnya sendiri. Meninggalkan Dika yang sedang di depan komputer.
Pulas tidur Boni pagi ini terganggu oleh suara ketukan di pintu. “Mas…, Mas Boni sudah bangun belum?” Suara perempuan dari balik pintu.
“Ya.., sebentar.” Boni beranjak dari tempat tidurnya semabri membenahi pakaian tidurnya. Alangkah terkejutnya Boni demi melihat siapa yang di depan kamarnya. Ari dengan mata sembab nyelonong masuk ke kamarnya.
“Mas Dika marah. Dia menuduhku selingkuh.” Ari mencoba berkata tegar. Namun tidak bisa ditutupi kesedihan hatinya. Air mata masih meleleh di pipinya.
Boni hanya terdiam. Ada keinginan dipeluknya perempuan itu agar tenang hatinya. Namun, Boni tidak ada keberanian. Pikirannya bermain sendiri. Jangan-jangan Dika mengira Ari selingkuh dengannya, karena beberapa hari ini memang Ari sering berinteraksi dengannya
“Selingkuh? Selingkuh dengan siapa, Ar?” jantung Boni berdegup kencang menanti jawaban dari mulut Ari. “Agung…” Jawab Ari kemudian menutupi kembali wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Plong… berarti bukan dirinya.
Diberanikan diri untuk memegang tangan Ari. “Ar, jika engkau memang ada hati dengan Agung tinggalkan saja Dika. Dan sebaliknya, jika kau teramat sayang kepada Dika, rawat dia baik-baik. Beri penjelasan padanya siapa Agung itu.” Boni mencoba menentramkan hati Ari.
“Tapi mas Dika selalu memojokkan aku mas. Aku sudah menjelaskan padanya siapa Agung, Dia selalu menyindir. Aku juga bisa sakit hati mas. Apa yang dia bilang tidak pernah aku lakukan. Aku menjaga hatiku untuk tidak berpaling.” Air mata Ari kembali mengalir.
Semakin kencang degup jantung Boni. Ingin rasanya dia mengusap air mata itu, memeluk Ari dan berkata semua akan baik-baik saja. “Ar, ada saatnya laki-laki itu menjadi sangat tidak masuk akal apa yang semua dia katakan. Itulah tanda kecemburuannya memuncak. Dengan cemburu, berarti rasa rindu semakin menumpuk. Tumpukan rindu itulah yang menjadi nilai akan sebuah rasa sayang.” Boni mengusap tangan Ari yang basah oleh air mata.
Boni berpindah tempat duduknya, dia memeluk kepala Ari. Ada rasa yang melambung ketika kepala Ari ada di bahunya. “Kau ingin mendengar kejujuran dariku?” tanya Boni. Ari beranjak dari bahu Boni. Air matanya sudah tidak sederas kali pertama tadi. “Kejujuran tentang apa mas?”
“Aku berani bilang ke kamu, karena aku sayang sama kamu dan …” Ari memotong kalimat Boni. “Maksud mas Boni apa?”
“Biarkan aku selesai dengan kalimatku. Jangan kau potong. Aku sudah lama mengamatimu. Semenjak engkau dengan Adis, hingga sekarang akhirnya Tuhan mempertemukan kita. Aku…” Ari menyela lagi, “Maksud mas Boni ini apa?”
“Bisa kau perhatikan saja apa yang aku ucapkan tanpa menyela?” Boni memegang kepala Ari dengan kedua tangannya. Ari mengangguk
“Baiklah, karena kau tak sabar mendengar penjelasanku, inti dari semua yang aku bicarakan adalah tinggalkan saja Dika. Engkau bisa mencari sesosok orang dengan hati yang hampir sama sabarnya denganmu.” Boni melepaskan kepala Ari.
“Aku tak berharap lebih dari siapa pasanganku mas. Aku hanya ingin dimengerti. Aku ingin bisa diterima dengan segala macam kekuranganku” kata Ari.
Dika lewat di depan kamarnya. Mungkin Dika sengaja lewat dan menguping pembicaraan tadi. “Ahh…, tak peduli.” Batin Boni.
Di hari wisuda, Boni sengaja tak hadir. Padahal Ari sudah memintanya untuk datang di acara tersebut. Wisuda adalah titik awal sebuah kebingungan. Kalau tidak jadi pengangguran ya jadi pegawai karena dipaksa kebutuhan. Idealisme ketika menjadi mahasiswa dahulu, terkikis oleh kebutuhan perut. Tawa di hari wisuda, akan menjadi air mata ketika waktu berjalan dan tak ada harganya lagi sebuah gelar.
Ari semakin jarang muncul setelah wisuda itu. Terkadang sebulan hanya sekali atau dua kali datang. Dika semakin tertinggal. Tugas Akhir yang harusnya sudah selesai beberapa tahun lalu, kini kembali terbengkalai. Orang yang selalu memberinya semangat, kini sibuk dengan mencari pekerjaan.
Sebuah pesan muncul di ponsel Boni dari nomor tak dikenal, “Mas Boni benar, aku harus terbang. Meninggalkan orang-orang yang aku sayang.” Boni penasaran. Dihubunginya nomor itu. “Halo mas Boni, Ini Ari.” Jawab suara di seberang itu.
“Hey…, dimana kamu sekarang?” tanya Boni.
“Aku sekarang di Madiun mas. Pulang kampung. Aku ingin mengucapkan terima kasih ke mas Boni” kata Ari.
“Terima kasih atas apa, Ar?” tanya Boni.
“Mas Boni dulu pernah bilang, Terbanglah dulu, tidak salah kau meninggalkan orang yang kau sayang, jika mereka sekarang tak bisa menemanimu menuju langit. Ada saatnya nanti kamu kembali.” Ari mengulang kata-kata Boni beberpa bulan lalu.
“Maksudmu apa, Ar?”
“Aku memutuskan berpisah dengan Mas Dika.”
“Hah…?” Boni terkejut.
“Biarlah dia menjadi lebih baik tanpa aku disampingnya. Jika Tuhan memang berkehendak, ada saatnya nanti aku kembali.” Kata Ari. Boni hanya terdiam. Seperti sedang dihadapkan simalakama. Tak membayangkan sakit hati kawan sebelah kamarnya. Namun, juga tak rela jika seorang Ari menderita. Yang lebih membuatnya sedih adalah kehilangan sosok penyabar yang selama ini dia amati untuk dijadikannya tauladan bagi dirinya.
“Halo, Mas Boni masih disitu?” tanya Ari.
“Oh.. iya. Maaf ini tadi sambil mencari charger.” Boni berbohong untuk menutupi keterkejutannya atas kata-kata Ari. Tidak menyangka Ari bisa sangat hafal dengan kata-kata itu.
“Aku minggu depan ke Solo, mas. Mungkin kita bisa bertemu.” Ari mengabarkan.
“Bisa, dimana?”
“Di tempat dulu mas mentraktir aku sehabis aku mencuci pakaian mas itu gimana?” Ari menawarkan.
“Baik, aku tunggu kedatanganmu.” Setelah itu telepon ditutup. Boni beranjak ke Kamar Mandi. Melewati kamar Dika yang masih tertutup. “Ahh…, kenapa kau sia-siakan Ari? Seandainya kau tidak pemalas, mungkin Ari masih dalam pelukanmu. Dan aku masih bisa belajar tentang kesabaran dan kesetiaan darinya.” Batin Boni dalam Hati.
Hari pertemuan itu tiba. Boni mengenakan pakaian terbaiknya. “Mau kemana Bon? Tumben rapi amat?” tanya Dika tiba-tiba melihat Boni siap pergi. Sudah barang tentu Boni gugup mendengar pertanyaan Dika. “Eeeng.. anu, ini mau ketemu sama teman.” Jawab Boni agak gugup.
“Halah… teman apa pacar?” tanya Dika lagi.
“Calon kali.” Jawab Boni sambil tertawa.
“Huwah…, sang playboy kaos kaki dapat mangsa lagi ya?” Dika tertawa mengiringi kepergian Boni.
Sesampai di rumah makan, Boni terkesima melihat paras Ari yang terlihat lebih cantik dari beberapa waktu lalu.
“Hai mas pengusaha kaos kaki.” Sapa Ari.
“Ha..ha..ha…, apa kabar perempuan berhati lapang?” sapa Boni. Senyum Ari semakin membuat pembuluh darah Boni seperti akan meledak karena mendesir sangat kencang.
Canda tawa menghiasi percakapan mereka. Bercerita masa yang pernah dilewati. Tentang Kota yang memberikan banyak kenangan. Sekarang, Ari sudah menjadi seorang wanita karir. Bisa membahagiakan kedua orang tuanya.
Ari bertanya kabar Dika. Jawaban Boni hanya singkat-singkat saja. Diceritakannya Boni yang semakin terpuruk setelah Ari tidak pernah lagi muncul. Sebenarnya bukan hanya Dika yang terpuruk. Dirinya juga merasakan kehilangan. Belum cukup rasanya Ari mengajarinya tentang kesetiaan dan kesabaran.
“Mas Boni, aku akan menikah dalam waktu dekat ini.” Kata-kata Ari terasa seperti sambaran petir yang tepat mengenai jantungnya. Belum terpuaskan kerinduannya kepada Ari, sekarang dia harus bersiap untuk kehilangan Ari di sekat oleh tali pernikahan.
“Mas Boni kenapa? Tidak senang ya aku menikah?” tanya Ari.
“Ohh… aku turut bahagia. Hanya saja….”
“Kenapa mas?”
“Tidak apa-apa. Aku bahagia mendengar kabar ini.”
“Mas Boni pernah bilang ke aku untuk jujur pada hati. Kenapa sekarang mas sendiri malah menutupinya.” Kata-kata Ari terasa mengejek dirinya yang terlalu pengecut.
“Ar, mungkin aku terlalu berani mengatakan ini. Seorang penjual kaos kaki yang membiarkan rasa sayang menjadi wujud Cinta.” Kalimat Boni mengalir begitu saja. Ari terdiam, senyumannya semakin membuat Boni lemas. “Aku selalu mengamatimu. Aku terpikat dengan pesona hatimu.” Tambah Boni.
“Mas…, Jika boleh saya mengakui, saya juga sayang ke mas Boni. Tapi, rasa ini sebatas sayang. Mas Boni bukan Cinta kepadaku. Itu sebentuk rasa kagum. Sebuah obsesi tentang kesabaran hati yang seperti mas Boni inginkan. Aku menghargai perasaan mas. Namun, cobalah mas Boni terbang tinggi. Lihat ke bawah. Begitu banyak perempuan yang lebih sabar daripadaku. Lebih setia dari yang mas lihat dari diriku.” Tangan Ari berusaha menggenggam tangan Boni yang ternyata dingin.
“Jika ini bukan cinta, mengapa aku selalu merasa tentram ketika kau berada di sekitarmu? Seperti saat ini misalnya, mengapa jantungku berdegup kencang hingga tanganku dingin. Kau merasakan dingin tanganku kan?” tanya Boni.
“Mas Boni adalah abang bagiku, seorang kakak yang senantiasa berusaha menjaga adiknya. Percayalah, yang mas rasakan ini bukan cinta. Ini kekaguman. Sebuah obsesi. Aku juga mengagumi mas Boni. Perjuangan mas Boni, ketekunan mas Boni. Dan aku juga ingin suamiku kelak seperti mas Boni.” Tandas Ari.
Boni tak lagi bisa berpikir. Kata-kata Ari sudah tidak bisa disangkal. Cinta merupakan sesuatu yang sakral dan bukan kebetulan. Cinta tidak akan memperburuk keadaan ketika menjauh. Dia akan senantiasa hidup dalam hati untuk memberikan semangat dalam menjalani hari-hari.
Suasana rumah makan siang ini berubah menjadi sejuk meskipun hari sedang panas-panasnya. Sentuhan Ari menjadikan hati Boni tentram. Kesabaran Ari membuat perubahan dalam dirinya. Boni menghela nafas dan menatap tajam ke arah Ari.
“Dengan siapa kau menikah Ar?” tanya Boni setelah tenggorokannya sudah tak lagi terasa tercekat.
“Agung mas, temanku di SMA dahulu. Ternyta dia masih menungguku pulang.” Jawab Ari. “Mungkin ini kali terakhir aku ke Solo. Agung tak memperbolehkan aku kesini lagi. Solo telah memisahkan dia dan aku. Membiarkan hatiku tertambat ke beberapa laki-laki.” Gurat bahagia dan sedih tampak di raut Ari.
Pepatah itu kali ini mendapatkan pembenaran lagi. Orang baik akan bertemu orang baik. Si Cantik mendapat sang tampan. Penyabar, akan mendapatkan pasangan Sabar pula.
“Berarti, ini kali terakhir aku melihatmu?” tanya Boni. Senyum Ari mengembang, “Mas Boni senang kan jika aku bahagia?”
Waktu sudah hampir petang. Saatnya Ari kembali ke Madiun. Dengan diantar Boni, mereka berada di terminal. Ari segera naik ke Bus yang akan membawanya ke Timur. Boni di belakangnya, mengantar hingga Ari mendapatkan tempat duduk.
Sebelum duduk, Ari merentangkan tangan. Memberikan pelukan kepada seorang abang, sembari berkata, “Jika suatu saat ada yang menangis di hadapan mas, jangan dibiarkan ya. Berusahalah memeluknya, sekadar memegang tangan atau kepala cukup bisa menenangkan.”
Boni tersenyum dalam pelukan Ari. “Ar…, meski mungkin kita tak lagi bertemu, kau masih mau mengucapkan selamat ulang tahun padaku kan? Cukup senyummu sebagai hadiah bertambahnya usaiaku.” Kata Boni sembari melepas pelukannya.
Lambaian tangan perpisahan terasa ringan. Boni melepaskan sebuah simbol kesabaran dan kesetiaan pergi menuju kebahagiaan. Kesabaran yang bertubi-tubi mendapatkan cobaan. Kesetiaan yang seringkali diragukan karena alasan masa lalu. Manusia tak ada yang sempurna. Namun, Tuhan memberikan kelebihan pada kekurangan. Dengan kekuatan pikiran dan usaha, apa yang menjadi keinginan akan terwujud nyata. © groengerine

Komentar

merry merry mengatakan…
Ketoke aku kenal siapa pengusaha kaos kaki kui
GroengerinE Ari mengatakan…
Ha..ha..ha...
Semoga bahagia juga bersemayam kepada boni sang penjual kaos kaki.