DDN (revisi) He..he..he...

dapat dari Gudang.

sebuah buku yang nggak laku


"DIALOG DENGAN NURANI"

Mengangkat kisah perjalanan hidup manusia. Bercerita hati nurani yang selalu bertolak belakang dengan keadaan yang ditemui. Harapan yang tiada kunjung tiba kesempatan mencapainya. Realita hidup yang tidak sesuai dengan idealisme. Disinilah gejolak hati tak sejalan dengan apa yang dilakukan. Mengikuti kata hati atau diam menunggu perubahan. Hal yang dilakukan adalah bertanya pada nurani. Keputusan terakhir mempengaruhi jalan hidup yang akan ditempuh. Menemukan jati diri melalui dialog dengan nurani.

Sebuah Pengantar

Mencoba menuangkan beberapa tulisan sebagai hasil dari suatu perjalanan. Lebih mirip seperti catatan harian. Namun, tidak selalu menceritakan seorang 'Aku'. Seperti Novel, tapi tak ada keharusan untuk selalu membaca dari depan ke belakang. Prosa Bebas. Layaknya sebuah Puisi, mempunyai suatu arti dalam setiap bait. Prosa ini tidak terikat pada satu ketentuan. Berdialog dengan nurani. Ketika harapan dan keinginan telah ada di depan mata, namun tiba-tiba dihantamkan pada idealisme dan norma-norma. Apa yang akan dilakukan manusia? Buku ini (apabila sudah layak disebut buku) bukan untuk menggurui pembaca akan pilihan pada kesempatan. Bukan juga menyuruh pembaca untuk selalu bertanya pada nurani. Mengenai cinta, cita-cita, dan pengharapan. Tetapi, mencoba menjelaskan bahwa nurani itu ada. Dan dia akan selalu membayangi setiap keputusan yang di ambil. Mengungkapkan kejadian yang sering di alami manusia. Menceritakan perjalanan hidup. Atau mungkin apabila pembaca telah bosan untuk membaca, dapat juga buku ini sebagai kipas ketika gerah, atau pengganjal almari pakaian yang miring.

Surakarta, Akhir Desember 2004

Ariyanto

Untuk Sebuah Kenangan Kepada :

Keluarga Surya Tenggelam di Solo

Mamanya Andina (R.I.P.)

Lhies, Sahabat pada masa Kegilaanku

DEKADE

Memahami sebongkah perasaan diri sendiri tidak mudah. Mencari jawaban dari orang lain, berputar di sudut 360 derajat. Menepikan semua analisa tanpa melihat metode yang digunakan. Sakit, itulah akhir percobaan. Idealisme tetap saja barisan paling depan. Referensi tidak relevan lagi. Menghantam masalah dengan logika.

Api tidak selalu padam disiram air. Mengagumi riak gelombang dengan mata terpejam. Buta, segala hal hanya diraba. Menyentuh bara dalam jiwa yang terlalu lama disimpan dalam sekam. Hangat, kemudian membakar telapak tangan.

Keputusan telah diambil. Bara api akan tetap menyala dalam nuansa kemunafikan pada keinginan. Kejujuran akan memberikan kesejukan pada masa yang dilewati. Sekarang ataupun akan datang. Masa lalu adalah kenangan. Kesedihan yang tergores saat ini karena kenangan, adalah hasil perbuatan yang patut untuk dipertanggung jawabkan.

Perasaan tidak harus dibunuh. Perasaan tidak boleh dibiarkan terus berkembang bila tak ada kemungkinan berakhir. Mempermainkan perasaan hanya memberikan rasa sakit. Terlambat, untuk mengakui perasaan yang sekian lama ditimbun dalam pembuluh nadi.

( Sindoro, Februari 2003 )

HABITAT

Terbangun di Rimba Belantara. Hukum tidak berlaku. Siapa dapat bicara, dia dapat hidup. Tidak ada aturan otentik. Rimba ini jauh dari tanah kelahiran. Sendiri, mandiri, dan harus berusaha hidup.

Hidup bermacam tumbuhan. Banyak bunga mengintai di balik semak. Hampir semua menawarkan semerbak harum. Muncul pertanyaan, apakah hati seharum baunya? Kera berkelompok dengan kera. Gajah dengan gajah. Hanya kadang kera berkumpul dengan gajah, bersatu. Untuk mendapat satu tujuan. Hanya sebatas kerjasama. Lain tidak.

Kera berupaya mencabuti kutu dari bulunya. Tersingkir, tersisih. Tak ada bunga dapat mengharumi tubuhnya. Teramat bodoh sang kera yang menyendiri. Tak peduli pada pohon yang tumbang, tanah yang longsor, dan hujan yang memporak porandakan sarang semut. Tak sadar apabila di seberang sungai ada bunga yang menanti dipetik.

Tololnya sang kera menimbun hati dengan salju. Menutup hasrat bercumbu. Senantiasa mengharap bidadari. Bidadari yang telah mencipta bola salju di hatinya. Bidadari yang pernah memeluk erat tubuhnya. Pelukan semu bidadari menjadi obsesi. Tak ada yang abadi. Semua perubahan harus di ikuti. Sinar matahari senantiasa menyilaukan mata di pagi hari. Ketika tubuh berjalan ke timur dengan langkah tegap. Mendekati sifat congkak dan sombong.

TAK PEDULI

Kebanggaan pada hati nurani mempunyai nilai sendiri. Jika berhasil, memperoleh kepuasan tersendiri. Jika gagal, nyaris menghapus rasa percaya diri. Usaha yang tidak sepenuh hati melahirkan suatu kegagalan yang menusuk nurani. Rasa bersalah dan penyesalan hanya dapat dihapus dengan keberhasilan di waktu berikutnya.

Tangisan bunda yang merajam jiwa, tentang kegagalan, sebab usaha yang tidak sepenuh hati, menyayat, merobek, dan membakar hati. Meninggalkan masa lalu, melupakan derita yang pernah dilalui bersama orang tersayang, demi suatu masa depan. Apakah suatu Perbuatan yang salah? Tak di pungkiri, tetap terpatri semua peristiwa yang dilalui. Berusaha sepenuh hati, walau kegagalan menanti.

Melupakan prahara untuk masa depan. Mendongak ke atas. Bunda akan selalu bertoleransi. Manusia hanya berusaha dan berdoa, Tuhan yang menentukan. Dan pasti itu untuk kebaikan umatNya.

(Malang, 14 Agustus 1999)

MENATAP LANGIT

Pengharapan pada bidadari, mungkin tinggal mimpi. Mengapa awan dan mendung begitu sempurna, hingga hujan yang turun begitu menusuk hati. Terkadang ada hari dimana langit dirindukan. Namun, ketika langit memberi rupa, hujan datang kembali. Menyayat, karena kisah terpancar dari awan hitam.

Bias langit bersih, kenapa hanya bercerita tentang kisahmu. Tidakkah tahu permintaan hati. Tidurkan mata dalam pelukanmu. Belai kepala dengan tangan lembutmu. Kemudian bersama ke batas dimensi ruang dan waktu ,dimana segala pinta terpenuhi. Namun, hujan masih menghias hari. Dan guntur menyambar nurani. Angkuh hati membentur maksud hakiki. Dan harapan terasa bernilai dalam ketidakberdayaan.

( Magetan, 12 April 2000 )

NEGASI

Sebuah Pengakuan. Mungkin itu salah satu keterusterangan. Pengakuan lebih ditujukan pada diri sendiri. Selain itu hanya sebuah kedok mendapat simpati dari manusia lain.

Pengakuan seringkali bukan keterusterangan. Dan hanya kata menyelamatkan diri. Manusia sering memukul rata keterusterangan. Sebuah pengakuan membuat ringan beban yang dipikul. Walau mungkin tak ada pemecahan dan belum tentu menghapus dosa.

Banyak manusia mengaku berlari. Namun, kenyataannya mereka baru akan mencoba berlari. Dan langkah terseret antara merangkak dan tersungkur. Pengakuan yang penuh keterusterangan terjadi pada hati nurani. Tuhan yang akan mendengar serta menilai.

Anak manusia mencoba berlari. Dengan payung kegelapan dalam hujan caci maki, ketidakpercayaan. Tersandung lobang yang pernah digali. Pengakuan harus sejalan dengan kata hati. Selebihnya hanya kalimat tiada arti.

(Kawasan Bintaro, 12 September 2000)

ROTASI

Setiap perjalanan ada awal ada akhir. Terkadang akhir adalah titik awal bagi perjalanan berikutnya. Beberapa manusia berputus asa berakhir dengan kegagalan, dalam sebuah perjalanan. Tak sedikit pula menjadikan kegagalan sebuah batu tumpuan langkah selanjutnya. Hal tersebut disebabkan rasa ketidakpuasan yang tumbuh.

Roda berputar dari atas, kemudian ke bawah menimbulkan satu hentakan menggoncangkan hidup. Kebiasaan yang berubah drastis. Apalagi ke bawah, sangat menyakitkan. Hendaknya itu menjadi suatu pelajaran. Sekarang adalah salinan masa lalu yang harus di revisi. Roda yang yang titik hidupnya di atas kemudian di bawah ini, harus mulai bergerak lagi ke atas. Tapi dengan arah maju.

Mereka yang selalu di bawah tentu belum merasa puas dengan kedudukannya sekarang. Walupun tak ada harapan ke tengah, apalagi ke atas, dalam benak mereka tetap berusaha. Meski kesempatan terlalu abstrak digambarkan. Putaran tidak berjalan sendiri. Hukum alam, Reaksi disebabkan oleh aksi. Suatu hal sangat penting adalah usaha. Itulah yang akan memutar roda. Berusaha, selagi hidung menghirup udara dan otak bertahta di kepala.

( Bumi Serpong Damai, 20 September 2000 )

DAYA INGAT

Ada rasa sakit bila kenangan kembali. Muncul di hati dan pikiran. Namun, sakit itu memberi kerinduan mengenang hari yang lalu. Sebatas hanya mengenang. Mungkin dapat terulang.

Tetapi, waktu berjalan maju. Dan mayoritas manusia tak ingin merasakan sakit yang sama. Tak sedikit pula yang terbebani oleh kenangan kenangan manis. Tapi, ingin segera dilupakan. Menjadi trauma panjang. Yang akhirnya menutup harapan masa depan, mengoyak nurani. Entah trauma pada kehidupan cinta, cita-cita, atau sebuah keinginan yang terlewati dan tak kembali.

Apabila datang kenangan itu, biarkanlah bertandang. Ambil madu susunya. Suatu anugrah manusia dapat tertawa dan menangis karena masa lalu. Namun, jangan larut dalam anugrah tersebut. Akan datang mentari membakar hari lalu dan menghangati hari esok.

Manusia suatu saat akan teringat masa lalunya. Dimana dewi-dewi turun dengan susu di madu-madu. Jangan menolak dengan alasan merindu langit biru. Langit tidak akan peduli pada rindu yang menggunung. Bodohnya anak manusia yang selalu terkekang dengan kenangan.

(Tangerang, 29 September 2000)

SELINGKUH

Menghempaskan tubuh di tebing terjal. Memang sakit. Namun, tak terkira nikmat yang di dapat. Suatu kesalahan, atau sifat manusia yang kurang ajar ?

Satu persatu tambatan di pasang untuk dapat bercumbu dengan tebing. Tambatan haruslah kokoh benar. Dan tali harus dapat dipercaya kekuatannya. Dengan segala daya dan upaya. Dengan otot dan pikiran, puncak harus tercapai. Tetapi, harus disadari, tebing tak akan dapat ditaklukkan. Hanya dapat dinikmati.

Manusia tak akan menjadi nomor satu, bertanding dengan alam. Tak lepas dari jiwa petualang. Selalu menghadapi resiko, menantang maut. Dan kini sang petualang menjadi kesayangan permaisuri. Menjadi kekasih perempuan di puncak tebing. Kekasih di balik tirai.

Perempuan di puncak tebing. Mampukah dia turun melewati tali yang telah dipasang. Dengan tidak membicarakan diskriminasi, perbandingan, dan habitat. Mereguk nikmat batu-batu tajam. Simpan semua kenangan di gunung-gunung tinggi. Biarkan mereka menjadi saksi. Dan biarkan mereka suatu saat membicarakan kenangan itu. Membicarakan tentang indahnya alam hijau.

KOLAP'S

Melewati dimensi melelahkan dengan segala beban di pundak. Semua hampa, semua tiada harapan. Kepada siapa beban ini dapat dibagikan? Tambatan hati berubah drastis. Dan kebanggaannya pada matahari, memberi rasa menohok dada. Namun, semua tiada arti. Bila tiada satu tonggak resmi memiliki. Tak hadir lagi wejangan memberi cahaya.

Dimana kawan sejati, ketika raga rapuh dan jiwa hancur. Tembok-tembok menjadi prasasti torehan luka di kepala. Persetan dengan semua suara. Sakit ini lebih menyayat tanpa kehadiran seorang karib. Biarkan dia menjauh. Apabila hanya suara, dan senyum basa-basi yang sanggup diberi.

Atas nama segala hal yang pernah dilalui. Hidup manusia baru dimana kehidupan menempa, kegelapan menggores luka. Dia adalah dirinya. Tak ada aturan sanggup mengikat. Menjunjung kebebasan dengan kesepakatan tak teratur. Siang adalah sore, pagi adalah malam. Mentari dan rembulan tak ada beda. Dengan langkah kaki, semua bisa terjadi.

Kembali ke peradaban dengan segala kesepakatan yang telah disetujui. Gelap telah lewat. Namun, peduli apa terjadi, benahi lusuh diri, tinggalkan segala sensasi, bangga akan nurani.

( Surakarta, 15 Juni 2001)

KESEIMBANGAN

Bersembunyi dibalik topeng kedewasaan. Tak ada yang berani menguak. Menikmati segala hal tentang kemunafikan. Kembali pada dosa-dosa yang pernah hadir. Masih dengan mata terjaga waktu menjelang subuh. Masih dengan bara belum padam di sudut dendam.

Coba sadari, coba mengerti, coba mengawali sebuah hari baru. Kisah hidup esok pagi. Gema seruan kebesaran Tuhan membuka telinga dan hati untuk menyadari dosa dan kesalahan. Kesalahan yang lebih nikmat dibanding penyesalan.

Ada kekosongan di tatap mata dan kata hati nurani. Mencari pengisi relung raga tak semudah melukis rembulan. Sang dewi kecil mengganggu khusuk semedi. Dengan segala pesona yang tak kasat mata. Keraguan, penghalang merengkuh harapan. Hanya kebesaran hati dan pemahaman sikap menjadi dasar meraihnya. Kebimbangan memecah otak. Darah mengalir menggenang di pipi.

Harus ada keseimbangan antara otak, hati, dan otot. Ketakutan adalah penyakit tanpa obat. Mundur kembali pada gelap. Inilah hidup. Bertanggung Jawab, sebab telah berani, untuk memilih hidup.

(Kereta Sri Tanjung, 26 Oktober 2001)

TUTUP MULUT

Manusia bangun di sebuah kehidupan baru. Membuka mata, telinga, otak, dan hati. Sangatlah bodoh tidak percaya dengan apa yang dirasakannya sekarang. Inilah masa depan. Esok tak dapat ditebak.

Namun, harapan dan keyakinan harus selalu ada. Kematian adalah jawaban, bagi manusia tanpa niat memperbaiki hari. Umur tidak berjalan mundur. Waktu akan terus maju. Kewajiban baru menunggu di seberang jalan.

Tak usah banyak bicara. Berpikir hanya untuk perihal penting. Mulai berpijak dengan sebuah kejujuran. Menemukan sebuah perjalanan. Menjaga mulut untuk selalu diam bukan hal mudah.

Berjalan lebih berguna daripada kata-kata. Memberikan wajah baru bagi jiwa. Menjadi suatu perubahan pada langkah. Harus disadari, interupsi pada keadaan tidak akan merubah apapun. Senantiasa melihat dan memahami apa yang terjadi. Berpikir untuk kemajuan, bukan hanya untuk evaluasi. Dan mulut, adalah senjata paling tajam untuk membunuh.

………………………

Mungkin ini akhir perjalanan anak manusia. Namun, Seperti Rotasi, anak ini belum tentu berhenti. Apalagi ini 'hanya' akhir pertama. Anak menjadi seorang bocah. Sang bocah berani menarik kesimpulan.

Kegagalan yang telah ditempuh menimbulkan perasaan iri, marah, benci, muak, bahkan bosan. Iri pada sesama makhluk yang telah membuka masa depan. Sedang sang bocah tetap ' Tai Kebo'. Marah pada keadaan terasa memaki habis-habisan diri yang belum mampu membuka hari cerah. Membenci dirinya yang bodoh, muak dengan hari sarat tanda tanya. Akan menjadi apa kelak sang bocah ini.

Dalam dimensi lain ketidakmampuan sang bocah, ada keterpurukan lebih dalam. Dan memandang sebagai suatu kesempurnaan atas ketidak-mampuan itu. Itulah cara pandang komunitas dimensi ini. Bagi sang Bocah, itu adalah suatu penyesalan panjang.

Terlalu pagi dan terlalu cepat mencari peradaban suci. Kemungkinan kecil menapak kesana, selama semerbak arak dan anyir darah ada di sekitarnya. Di luar alam sadar, ada jiwa bebas. Dan bagi orang lain, mimpi kebebasan ini adalah perkelahian di bayangan matahari terbenam. Dan cita-cita layaknya abu berterbangan.

Tak akan mimpi menjadi nyata. Apabila tidak membantai sendiri segala bayangan-bayangan di malam hari. Kecuali, semua manusia juga telah bermimpi. Alangkah terlalu naïf sang Bocah selalu mengharap Bidadari turun dengan susu di madu-madu. Sedangkan mantra memanggil bidadari, masih membeku di sanubari.

Membiarkan Bidadari menjadi harapan abadi, atau kenyataan semu. Harapan itu mungkin datang. Suatu saat Bidadari membuka hati, turun ke bumi. Haruskah merayu? Agar dapat secangkir penuh madu susu. Agar kembali semangat maju. Ada perasaan tabu berujar cinta. Cinta sakral penuh tanggung jawab pengorbanan. Sedang rasa sayang tak perlu basa-basi. Atau hanya pikiran seorang bocah?

Terlalu pasrah, jalan ke depan begitu semu. Itulah cinta yang terlalu mendamba. Memungut serpihan kayu di hutan belantara. Percaya, bahwa sang kuat akan mencintai sang hebat. Tak tahu diri, berani meminta madu susu Bidadari. Tak ada pemujaan, tak ada persembahan. Hanya dengan janji-janji. Namun, hanya hati bidadari yang sanggup memberi harap cerah hari. Selain itu, adalah kekaguman hakiki. Kesadaran jiwa.

Cinta yang dicaci , dimaki dalam kepolosan, lebih bermakna daripada mendapat kemenangan dalam kepura-puraan. Matahari senantiasa terbit dan tenggelam. Bila tiba saat dewasa, bocah harus mati. Dan akan tumbuh cinta lebih agung. Bidadari tetap bidadari. Tersenyum di kilau mentari. Hidup abadi. Meski tak akan memberi secangkir madu susu.

MULAI

Permainan simalakama. Api telah tersulut. Hutan terbakar hebat. Langit gelap tertutup asap. Namun, terdengar gelegar guntur di atas kepala. Mengharapkan hujan turun dan memadamkan api. Tak terlihat mendung. Segalanya tertutup asap. Tak dapat mengelak. Inilah kenyataan hidup.

Ada kejanggalan pada sanubari. Ketukan pelan dengan tempo sempurna mencoba menguak pagar penuh duri. Hanya karena ego tinggi, tangga nada ini tak dapat dipergunakan untuk bernyanyi. Haruskah bencana memperingatkan nada dasarnya. Harus ada pilihan. Segalanya harus ditentukan sekarang. Tak ada lagi penyesalan di belakang hari.

Tenangkan hati. Mulai kembali bernyanyi. Meski sumbang itu merupakan ungkapan jiwa yang sekian lama ditutupi. Tidak terlena dengan keadaan. Tidak selalu meratapi kegagalan. Bersuara lantang di bawah mendung tertutup asap hitam. Menunggu hujan turun memadamkan api namun, membasahi tubuh.

Sebuah pilihan untuk diam dan terbakar api dengan mengharap tak pasti hujan datang. Bergeser dari tengah ke pinggir jalan. Bila tak sanggup menerima keadaan selanjutnya. Sebab, sebentar lagi penghuni hutan akan keluar bersamaan.

Dengan alasan tepat, penghuni hutan akan berhenti di depan mata. Bersatu memadamkan api tanpa menunggu hujan turun. Meski tidak semua tumbuhan dapat diselamatkan.

KEMBALI PULANG

Membenamkan diri pada kesepian tidak harus selalu melayangkan pikiran ke dimensi lain. Mencari imajinasi pada alam bawah sadar. Membangun garis kehidupan dari titik pencaharian makna kesendirian.

Gagak terbang terlambat kembali ke sarang. Pagi telah tiba. Dan belum sempat berkicau menyampaikan berita. Tak peduli akan tugas yang belum terlaksana, kembali ke sarang. Senyuman mentari tak menjadikan alasan untuk tidak tidur pagi ini.

Sarang, tempat nyaman melepaskan beban yang tak dimengerti makhluk lain. Kurir maut, makhluk Tuhan yang juga mencintai kehidupan. Sarang hanya berhias rumput kering dan beberapa ranting. Namun, ini adalah istana. Menemukan bahagia yang tak akan ditemukan di dunia luar sana.

Kebahagiaan dan Kedamaian bukan lagi bunga tidur. Tentram dan nyaman menjadi landasan bertahan. Tidak ada yang membuat suasana itu ada. Segalanya hadir dengan sendirinya. Tiada yang menuntut untuk dibuatkan kedamaian, kebahagian, ketentraman dan kenyamanan. Semua komponen membuat semua itu untuk pribadi masing-masing.

Dengan tidak melupakan kepentingan individu lain. Segalanya berawal dari rumah. Dimana ditemukan kebahagiaan, disitulah rumah. Suatu saat rumah menjadi akhir dari perjalanan hidup.

( Hujan di Surya Tenggelam)

KETERGANTUNGAN

Berpacu di lingkaran. Berputar tanpa tahu ujung pangkal. Kemana melangkah disitu pula kembali. Hanya menikmati lelah setiap waktu yang terlewati. Beragam caci dan cela muncul. Mengisi benak kepala. Siapa yang dicari, apa yang ingin diraih.

Harapan terasa brutal dalam tidur. Inilah mimpi. Sebuah taman hati bunga sanubari. Tanah kelahiran yang telah lama tak dijamah. Membawa berita bercucur air mata. Taman, sebuah tempat bercengkrama dan merasa aman. Telah tergusur meninggalakan dunia fana. Memejamkan mata pergi ke alam baka, dan pasti untuk selamanya.

Taman yang setia menemani sejak membuka mata hingga kembali ke peraduan. Tak jarang menceritakan dongeng pengantar tidur. Beranjak pergi setelah membenahi selimut dan mematikan lampu kamar.

Alangkah sombong. Ketika meninggalkan taman dengan cengkraman kuat pernah melindungi dan memberikan tawa, tanpa sejenak menoleh. Tak disangkal, mentari pemberi harapan. Ketika hilang, baru sadar memiliki. Dan hanya sayatan sembilu di hati ketika kembali. Menemui gundukan tanah dengan taburan bunga. Bukan lagi Mawar yang pernah tertanam. Selamat jalan, damai di sisiTuhan, taman indah.

(Maospati, 6 Desember 2000)

PERADABAN BARU

Kereta melindas bantalan kayu, membawa kehidupan kembali ke asal. Kembali mencumbui tanah kelahiran, menenggak airnya. Tetapi, kota sekarang tidak seperti kota yang dulu. Entah, mungkin hanya cerita merpati atau sebuah realita yang tak kasat mata. Kota ini kotor, kotoran dari penghuninya.

Penghuni yang pulang dari pengembaraan mereka masing-masing. Hutan yang dikagumi, telah menjual kekayaannya. Dengan segala bentuk tubuh terlihat, ada keraguan akan misteri yang dikandung rimba raya. Sungai menebar aroma dusta. Jernih air ternyata tak dapat membasahi kerongkongan. Sangat jauh dari harapan yang di idamkan ketika merindu kampung halaman.

Tak terbayang seperti apa di luar sana. Mengapa mengembara jika akhirnya keraguan dan ke-tidak Ikhlasan di hati. Hancur perasaan akan anggun bentuk yang di idamkan. Namun sayang, kerusakan ini membekas bahagia. Karena anak manusia suatu saat pasti akan melewati pengembaraan.

Apabila tidak bahagia, tak mungkin terulang. Dan tak ada cerita mengenai pengalaman. Harapan pada gunung, hutan, sungai, rawa, dan seluruh kota.Kembali seperti dulu lagi. Menyapa kawan sehati.

(Maospati, 12 September 2000)

INTERPRETASI

Kesunyian dan kesendirian membawa pada kenangan yang dirindukan muncul. Kerinduan dalam kata tak bermakna. Sebuah retorika baurkan makna. Lain jiwa lain arti. Dikarenakan tiap manusia punya nurani. Kata yang terucap, seringkali bukan tujuan hakiki. Hanya sebuah belokan menjurus pada kesempatan sempurna menggapai cita.

Perihal berkumpul dengan jalinan persahabatan. Pernahkah terpikir untung dan rugi. Bila menjadi tujuan, kawan adalah barang dagangan yang harus laku. Kawan sejati memuliakan perasaan. Saling menjaga rasa. Banyak rasa timbul dalam jalinan. Ada suka, saling sayang, cemburu, bahkan benci. Namun yang menakutkan adalah rasa hati terlalu mengidamkan rasa memiliki. Rasa yang menepiskan paersahabatan.

Teman adalah anugrah. Tambatan hati. Perlukah memiliki secara utuh? Tak jarang bisa disangkal, karena berkumpul lahir rasa dari lubuk hati. Pengkhianatan pada persahabatan. Mungkin suatu kebahagiaan, mungkin pula akan selalu dikejar rasa bersalah.

Kembali pada sahabat itu sendiri. Apa arti berkumpul, apa arti kasih sayang bagi dirinya. Tujuan pasati kawan peringan beban. Tempat sementara menyandarkan berat beban. Rasa pada sahabat kadang lebih daripada rasa kagum. Persetan apa dengan perasaaan yang disalah artikan.

(Tangerang, 30 September 2000 )

DISTORSI

Meratapi ruang gelap, kosong, dan kotor. Satu hal mendorong hati untuk tetap berdiam diri. Instropeksi pada jalan telah dilewati. Terlalu banyak onak dan duri telah dilalui. Halangan dan rintangan ada di tatapan wajah.

Diam, jawaban tepat menanggung beban sebuah pengkhianatan. Sumpah dan janji yang terucap tak sadar benar terjadi. Tak semudah menengadah menghilangkan salju menimbun segala lusuh diri. Ada hati tak mungkin dapat terbuka. Semakin jauh melangkah, semakin dekat dengan pengkhianatan.

Pergi, dan akhirnya lupa jalan kembali. Berharap tidak lagi letupan gunung berapi membuat sanubari bergejolak berujar sumpah dan janji. Membawa segala beban hati melewati bukit gersang. Selalu ada kesalahan setiap langkah. Ini harus diakhiri. Bukan berarti berhenti di lereng terjal. Mencari tempat berteduh, menyiapkan rencana. Dan melanjutkan berlari.

Jangan sampai tersungkur kembali. Pengkhianatan memberikan beban tak terlupa. Bukan untuk terus disesali. Jangan sampai mentari melihat pengkhianatan telah dilewati. Berjalan kembali.

PROVOKASI

Disebabkan dorongan, manusia melangkah. Entah dorongan dari dalam maupun dari luar dirinya. Apakah semua itu terjadi pada manusia ? Harus..!! Apa guna hidup bila tidak untuk melangkah.

Menjadi soal adalah dorongan kemanakah itu? Baik jika dorongan itu ke arah terang. Menjadikan manusia lebih maju, lebih hebat dari hari kemarin. Namun, meyedihkan bila dorongan itu membuat manusia berdiri di batas tebing.

Seorang anak manusia berlari menghindari masa lalu. Berhasilkah? di dorong kebutuhan akan hidup, berusaha mati-matian membuktikan dirinya dapat sebersih kapas. Walau terkadang masih terseret di lobang hitam yang tidak diinginkan. Lobang yang pernah ia gali. Sudah pantaskah jalan yang ditempuh sang anak ini? Akankah anak menjadi bukan anak lagi? Mungkin, sang waktu akan terus berlalu.

Keinginan muncul tak terduga. Kadang ketika merayap di bawah tanah, kadang ketika terbang di awang-awang. Sang waktupun tak dapat memastikan. Begitu mudah pula hasrat itu hilang. Sifat manusia. Caci dan cela menjadi sebuah dorongan sebagian manusia untuk bergerak. Tidak sedikit, hal. itu menjadi beban yang menyekat nadi. Dan akhirnya mati tidak maju lagi

( Tangerang, 3 September 1999 )

EKSEKUSI

Pertempuran sampai pada pinggir jurang, hanya sebilah bambu sebagai jembatan untuk menyeberang. Waktu telah habis untuk kembali menyandang pedang. Menatap tanah seberang dengan perasaan cemas dan penasaran. Tetap termangu di tepian penentuan.

Tak mungkin melangkah menuruti hasrat sendiri. Karena sang "Penentu " telah menggariskan takdir. Dalam hujan bimbang, ragu menahan sakit. Semua telah digambarkan abstrak dalam lukisan masa lalu. Berjongkok dan menunggu. Hanya itu yang dapat dilakukan sekarang. Sambil membayangkan langit biru, laut luas, pulau bebas, dan hutan buas di seberang sana. Mungkin itu dapat meredakan hujan yang menganiaya jiwa.

Hanya terucap mantra do'a kepadaNya. Semoga takdir Sang Raja Semesta mengharuskan menyeberangi bilah bambu. Dan masa depan seindah malam dengan untaian bintang, dengan bidadari dalam pelukan pundak kiri.

(Surakarta, 5 Juli 2000)

JAUH

Hidup jauh dari orang tersayang, yang selalu memberi kehangatan. Terasa berat dan sulit, mungkin… namun di masa mendatang semua manusia akan sendiri, pasti… Di tempat jauh akan ditemukan pengalaman, nasihat, dan pengetahuan mengenai hidup dan kehidupan. Tidak hanya pelajaran hidup dari tetek ibu, atau dari tamparan seorang ayah.

Pengalaman memberikan kebingungan dan rasa takut untuk mencobanya kembali. Nasihat menjadi suatu momok untuk mengakui kesalahan dalam perjalanan. Sedangkan pengetahuan seharusnya dapat menjadi pertimbangan untuk berpikir ke depan untuk kehidupan yang lebih baik.

Jangan berhenti berjalan ketika adrenalin berada di puncak Jalan masih panjang. Lelaki punya tanggung jawab. Mengikat diri pada betina, penuh dengan dilema. Kejujuran lebih berharga. Menutupi kesalahan dengan alasan bohong, tidak akan membuat hidup menjadi lebih baik. Hanya akan membuat perasaan bersalah, menjadi bom waktu.

(Tangerang, 12 Agustus 1999)

*(To be Continued...

Komentar